Senin, 01 September 2008

-- Dr. M. Umar Chapra (Pakar Ekonomi Islam Internasional IDB Jeddah - Saudi Arabia & Dosen luar biasa STEI SEBI)

Dr. Mohammad Umer Chapra
Dr. M. Umer Chapra (born 1933), a Saudi citizen, is currently serving as Research Advisor at the Islamic Research & Training Institute (IRTI) of the Islamic Development Bank (IDB). Before joining IRTI in 1999, he worked as Senior Economic Advisor at the Saudi Arabian Monetary Agency (SAMA) from where he retired after a long service of 35 years.
Dr. Chapra taught in the United States at the Universities of Wisconsin and Kentucky and worked in Pakistan at the Institute of Development Economics and the Islamic Research Institute. He has made seminal contributions to Islamic Economics and Finance over more than three decades in the form of ten books and monographs and more than seventy papers and book reviews. Consequently, he has received a number of awards, including the Islamic Development Bank Award for Islamic Economics, and the King Faisal International Award for Islamic Studies, both in 1989.
E-mail: muchapra@isdb.org

Dr. M. Umer Chapra, MBA., Ph.D Nama aslinya adalah Muhammad Umer Chapra. Seorang pakar dan penasihat ekonomi-perbankan berkebangsaan Pakistan, tetapi lahir di Bombay tahun 1934. Sekarang dapat di hubungi di alamat Saudy Arabian Monetary Agency, P.O.Box 2992, Riyadh 11169. Ph: 4662056. Ia memperoleh gelar MBA dari Universitas Karachi dan Ph.D. dari Universitas Minnesota. Dari sini ia memulai karir sebagai penulis yang banyak mengupas tentang praktek-praktek internasional dengan referensi kebijakan teori dan praktek ekonomi Islam. sebagai tokoh penulis terbaik yang memberikan suguhan alternatif solusi praktek ekonomi internasional. Pernah mengajar mata kuliah ekonomi pada University of Wisconsin Platteville dan University of Kentucky, Lexington, Amerika. Juga pernah bekerja sebagai ekonom senior dan Associate Editor Pakistan Development Review pada pakistan Institute of Development Economis. Umar Chapra pada tahun 1965 menjabat sebagai penasihat ekonomi senior pada Moneter Agency kerajaan Arab Saudi, disamping kariernya sebagai penulis yang peduli terhadap perkembangan ekonomi dan perbankan Islam. Berkat kontribusinya yang beragam bagi ekonomi Islam, tahun 1989 Chapra memperoleh penghargaan King Faishal Internasional in Award Islamic Studies, serta penghargaan dari Islamic Development Bank Award in Islamic Economics Umar Chapra telah menulis puluhan buku antara lain: 1. Islam and Economic Development: a strategy for development with justice and stability (1993). Tentang perkembangan ekonomi Islam. 2. Islam and the Economic Challenge (1992). Tentang tantangan ekonomi Islam. 3. Towards a just monetary system: a discussion of money, banking and monetary policy in the light of islamic teachings (1985). Mendiskusikan permasalahan uang , bank dan kebijakan moneter. 4. Monetary and fiscal economics of Islam: an outline some major subjects for research (1978). Tentang keuangan dan ekonomi moneter dalam Islam. 5. Money and banking in an islamic Economy, in monetary and fiscal economics of Islam (1978). Tentang ekonomi dan perbankan Islam. 6. The Islamic welfare state and its role in the economy, in Islamic perspective. Studies in honour of Abu A’la Mawdudi (1979). Tentang peraturan ekonomi dan kesejahteraan negara islam. 7. The Future of Economis: an Islamic perspective. (2000). Masih banyak buku lainya dan ada beberapa yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Sementara artikel yang ditulis Chapra antara lain: 1. Monetary management in an Islamic economy, New Horizon, London, 1994. 2. Islam and the international debt problem, Journal of Islamic Studies, 1992. 3. The role of islamic banks in non-muslims countries. Journal Institute of Muslim Minority Affair, 1992. 4. The need for a new Economic System, Review of Islamic Economics/Mahallath Buhuth al-Iqtishad al-Islami, 1991. 5. The Prohibition of Riba in Islam: an Evaluation of Some Objections, American Journal of Islamic Studies, 1984.
http://www.opensubscriber.com/message/ekonomi-syariah@yahoogroups.com/8115915.html

RASIONALITAS TEORI EKONOMI ISLAM:Posisi, Implikasi dan Kemaslahatan Mengembang (Bag. 1)Oleh: Dede Nurohman
A. PendahuluanSecara naluriah, semua manusia menginginkan kehidupan yang bahagia dan sejahtera. Beberapa cara, dari mulai yang ideal sampai yang pragmatis, mereka tempuh untuk mencapai tujuan itu. Walaupun mereka memiliki cita-cita hidup yang sama, tetapi cara mereka mewujudkannya seringkali berbeda-beda. Bahkan tidak jarang saling berlawanan antara satu dengan lainnya. Dalam konteks jenis pencarian ekonomi, misalnya; para pedagang merasa bahagia dengan pekerjaannya. Bagi petani, pedagang merupakan jenis pekerjaan yang melelahkan. Berbeda dengan bertani, dapat dikerjakan dengan santai, tidak dikejar target, dan pada saatnya tinggal menunggu panen. Berbeda lagi dengan para guru yang menganggap pekerjaannya lebih mulia dan “mencerdaskan”. Dan banyak lagi cara-cara lain yang dijalani manusia. Namun semuanya satu dalam tujuan, yaitu mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.Bahkan dalam konteks yang lebih implisit, cara manusia mencapai kesejahteraan itu tidak jarang sangat bertentangan dengan cara manusia lainnya. Sesuatu yang menurutnya baik dan menguntungkan belum tentu baik dan menuntungkan bagi orang lain. Sesuatu yang rasional belum tentu dapat diterima akal orang lain. Sebagai misal, seorang pedagang memberikan bandrol sangat tinggi bagi sebuah produk. Bagi penjual, hal tersebut wajar dan masuk akal, tetapi belum tentu bagi pembeli atau penjual lainnya. Di sisi lain, terdapat pula seorang pelaku usaha yang merasa puas atas apa yang dilakukannya ketika ia menetapkan harga secukupnya kepada konsumen. Baginya, itu rasional, tetapi bagi kebanyakan orang bisa dianggap sebagai sebuah kebodohan. Dan ini terjadi dalam kehidupan manusia, khususnya dalam prilaku mereka untuk memenuhi kebutuhan akan kesejahteraannya.Meskipun demikian, dalam realitas kehidupan modern, makna rasionalitas dalam prilaku ekonomi didefinisikan dunia Barat secara materialistik-individualistik. Prilaku-prilaku ekonomi masyarakat dianggap rasional jika menyimpan keuntungan-keuntungan bendawi untuk dirinya. Kalangan produsen dipacu untuk mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya dengan meminimalisasi modal. Demikian juga golongan konsumen dipacu untuk dapat memaksimalisasi kepuasannya terhadap barang. Kehidupan diciptakan menjadi kondisi di mana seseorang dapat menggunakan logikanya sendiri untuk meraih keuntungan hidup. Peradaban dibangun untuk melahirkan manusia-manusia yang berorientasi pada kepentingannya sendiri dan sekaligus mengalienasi sendiri dari kepentingan-kepentingan orang lain. Kenyataan ini terjadi tentu tidak dalam waktu singkat, tapi telah berlangsung ratusan tahun, sehingga tanpa terasa ideologi kapitalis mengkristal menjadi kepribadian manusia modern. Pola pikir, prilaku dan tata nilai masyarakat menjadi sangat individual dan materialistik. Dimensi individualisme kapitalis membangun kehidupan masyarakat menjadi sangat private, kurang memikirkan kepentingan orang lain. Paradigma materialisme kapitalis berhasil mengkonstruk jati diri masyarakat menjadi sangat mencintai benda, berorientasi pada fisik dan lahir, realitas yang nampak secara kasat, bukannya makna, ruh, dan realitas sejati yang ada di balik benda itu. Dalam kehidupan nyata dapat dilihat, pola pikir rasukan kapitalisme ini menuhankan akal sebagai satu-satunya pencari hakikat kebenaran. Sedangkan tata nilai masyarakat berorientasi pada penguasaan atas sumber-sumber produksi. Indikasi hal tersebut nampak pada ketimpangan hidup yang tajam antara golongan kaya dan miskin.Untuk merubah keadaan di atas butuh waktu panjang dan pembenahan terhadap beberapa hal yang sangat kompleks. Wacana-wacana pembaharuan ekonomi yang berkeadilan harus ditempuh melalui pembangunan epistemologi, metodologi dan teori-teori yang mendukung. Dalam hal inilah, Islam sebagai sebuah sistem keyakinan yang memuat nilai-nilai universal dan komprehensif,[1] harus diformulasikan sedemikian rupa sehingga Islam dapat menyediakan sistem keilmuan dan sistem sosial. Sistem keilmuan dikonstruksi dalam rangka menyediakan wacana dan teori yang menjadi rumusan bagi idealitas sebuah tatanan hidup. Sementara sistem sosial dikonstruksi agar menjadi kekuatan real dan empiris yang tidak saja memperkokoh bangunan keilmuan tetapi juga menjadi indikator bagi kebenaran dan keadilan yang dicita-citakan secara teoritis.Dengan perangkat nilai yang berasal dari wahyu Tuhan dan dorongan penggunaan akal seluas-luasnya, ekonomi Islam dapat menjadi kekuatan baru dalam mewarnai kehidupan manusia. Kombinasi dimensi spiritual yang meneduhkan dan rasional yang meyakinkan sangat berpotensi untuk memperbaiki kondisi kehidupan manusia. Dengan itu, kesejahteraan dan kebahagian manusia tidak semata berlaku secara individual tetapi dapat menjangkau sekaligus menjamin manusia secara keseluruhan.Berangkat dari gambaran di atas, tulisan ini ingin; pertama, mengetahui posisi teori rasionalitas ekonomi Islam di antara wacana teori rasionalitas konvensional. Oleh karena itu, di dalamnya dikaji terlebih dulu pengertian rasionalitas dan kilasan sejarah berkembangnya pemahaman rasionalitas teori ekonomi modern untuk mengetahui motif, akar dan latar belakang di balik muncul dan berkembangnya pemahaman itu. Kedua, mengungkap epistemologi keilmuan ekonomi Islam sebagai sebuah pijakan terbangunnya konsep dan teori rasionalitas ekonomi Islam, menjelaskan wordl-view Islam sebagai sudut pandang dalam melihat realitas ekonomi, dan mengelaborasi konsep dan teori para proponen ekonomi Islam tentang teori prilaku konsumen dan produsen sebagai implikasi dari bangunan epistemologis dan world-view Islam. Ketiga, meneguhkan kembali pentingnya kemaslahatan sebagai prinsip dasar rasionalitas prilaku ekonomi muslim. B. Konsep Rasionalitas Ekonomi ModernSebelum menjelaskan term rasionalitas, terlebih dahulu dijelaskan maksud dari ekonomi modern. Ekonomi modern merupakan prilaku ekonomi yang digunakan oleh masyarakat dewasa ini dengan sistem dan implikasi-implikasi yang ditimbulkannya. Ekonomi yang berkembang sekarang ini adalah sistem ekonomi kapitalis, sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud ekonomi modern adalah ekonomi kapitalis. Dengan bahasa lain, sebuah sistem yang berkembang dan masih digunakan hingga kini secara mayoritas dapat disebut sistem konvensional (mainstreem). Oleh karena itu, dalam kajian ini apa yang dimaksud dengan sistem ekonomi modern adalah identik dengan sistem ekonomi konvensional, karena di dalamnya dihuni oleh sistem ekonomi kapitalis. Penegasan ini tidak berarti mengabaikan sistem ekonomi sosialis atau sistem ekonomi lainya. Namun, dari sudut pandang kekuatan pengaruh dan establishment, sistem kapitalis lebih umum dipahami sebagai sistem konvensional.Pemahaman tentang rasionalitas ekonomi sesungguhnya tidak bisa dilepaskan begitu saja dari pengertian ilmu ekonomi itu sendiri. Ilmu ekonomi didefinisikan secara beragam, paling populer diantaranya adalah “ilmu yang mempelajari segala aktivitas yang berkaitan dengan produksi dan distribusi di antara orang-orang”. Definisi ini dianggap masih kurang representatif sehingga para ahli ekonomi neo-klasik, seperti Lionel Robbins, mengajukan pengertian lain bahwa inti kegiatan ekonomi adalah aspek “pilihan dalam penggunaan sumberdaya”. Dalam pemilihan ini, lanjutnya, manusia menjumpai masalah kelangkaan (scarcity). Dengan demikian, sasaran ilmu ekonomi adalah bagaimana mengatasi kelangkaan itu. Dari situ muncul definisi ilmu ekonomi yang dipegang hingga kini, yaitu “sebuah kajian tentang prilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan-tujuan dan alat-alat pemuas yang terbatas, yang mengundang pilihan dalam penggunaannya”.[2]Ada beberapa titik tekan dari pengertian di atas, prilaku manusia, pilihan dan alat pemuas yang terbatas. Unsur “prilaku manusia” muncul sebagai bagian dari aplikasi naluriah manusia untuk mencari kesejahteraan hidup. Sehingga itu harus diwujudkan melalui aktivitas. Prilaku ini tentu merupakan cerminan dari apa yang ada dalam diri pelakunya, yang berupa kepercayaan, kecenderungan berpikir, tata nilai, pola pikir dan juga ideologi. Term “pilihan” merupakan hal yang wajar pula, sebab manusia punya rasa, idealisme, dan kecenderungan-kecenderungan serta ukuran-ukuran tertentu yang menjadi standar dalam membentuk hidupnya. Pilihan ini juga tergantung pada yang ada dibalik pelakunya. Sedangkan term “alat pemuas yang terbatas” atau kelangkaan sumberdaya, mengandung makna ambigu, bisa ya bisa tidak. Relativity is an attribute of scarcity, menurut Zubair Hasan.[3] Namun dalam konteks bahwa tujuan manusia mencari kekayaan, term tersebut dapat menjadi spirit untuk mendorong manusia mencapai kekayaan dengan secepatnya. Pendek kata term terakhir ini, mengimplikasikan adanya target tertentu yang harus dikejar pelaku ekonomi.Dalam bangunan terminologi di atas, konsep rasionalitas[4] ekonomi itu muncul. Setiap orang yang dapat mencari kesejahteraan hidupnya (kekayaan material) dengan cara melakukan pilihan-pilihan yang tepat bagi diriya, dengan prinsip jangan sampai dia tidak kebagian mendapatkan pilihan itu karena terbatasnya ketersediaan, maka orang tersebut dianggap melakukan tindakan rasional. Dalam lingkup yang lebih khusus, seorang produsen dianggap rasional jika ia dapat mencapai tujuan usahanya (keuntungan) dengan cara melakukan beberapa pilihan strategi, meminimalisasi kapital dan mendapatkan keuntungan maksimum. Demikian juga konsumen, ia dianggap rasional, jika ia dapat memenuhi atau melampaui batas maksimum kepuasannya dari alat-alat pemuas yang terbatas. Oleh karena itu, rasionalitas ekonomi dapat dipahami sebagai tindakan atas dasar kepentingan pribadi untuk mencapai kepuasannya yang bersifat material lantaran kawatir tidak mendapatkan kepuasan itu karena terbatasnya alat atau sumber pemuas.Kepentingan pribadi atau self-interest, menjadi titik tekan disini. Namun, menurut Adam Smith, penekanan pada self-interest itu bukan berarti mengabaikan kepentingan masyarakat. Menurutnya, dengan memaksimalkan self-interest, kepentingan (kesejahteraan) masyarakat dengan sendirinya akan terpenuhi kesejahteraan masyarakat itu. Oleh karena itu, dalam buku-buku ekonomi, term rasionalitas ini dijelaskan bahwa pelaku ekonomi melakukan tindakan rasional jika ia melakukan sesuatu yang sesuai dengan self-interest, dan pada saat yang sama konsisten dengan membuat pilihan-pilihannya dengan tujuan dapat dikuantifikasikan (dihitung untung ruginya) menuju kesejahteraan umum.[5] Meskipun ada tujuan kepentingan umumnya, tetapi itu berangkat dari kepentingan pribadi.[1] Universal (‘a>lamiyyah) berarti berlaku bagi semua manusia tanpa pandang suku, budaya, kulit dan status sosial, sedangkan komprehensif (shumu>liyyah), meliputi semua aspek kehidupan manusia.[2] Diambil dari M. Dawan Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), cetakan pertama, 1999, 5-7.[3] Zubair Hasan, Introduction to Microeconomics, An Islamic Perspective, Malaysia: Prentice Hall, Cet. I, 2006, 1.[4] Term rasionalitas diambil dari bahasa Inggris rationality. Dalam Oxford disebutkan banyak arti ration; dapat menggunakan kekuatannya untuk berpikir, tidak bodoh dan ngawur, ungkapan jelas, mudah dipahami. Dan term rationality merupakan kata bendanya, yang berarti; kualitas perbuatan berpikir atau sesuatu yang dapat diterima akal. Lihat AS Hornby, Oxford Adanced Learner’s Dictionary of Current English, Edisi IV, Inggris: Oxford University Press, 1989, p. 1040.[5] Syed Omar Syed Agil, “Rationality in Economic Theory, A Critical Appraisal”, dalam Readings in Microeconomics, An Islamic Perspective, Sayyid Taher, dkk (editor), Malaysia: Longman, 1992, hal. 32.
Diposting oleh antonpn's blog di 17:42 0 komentar
Label: Islamic Economics
08/03/17
Grounded Dalam Ekonomi Islam METODOLOGI GROUNDED THEORY DALAM PENELITIAN EKONOMI ISLAM[1]PengantarPenelitian-penelitian dalam bidang sosial, terutama bidang ekonomi selama ini lebih banyak menggunakan pendekatan positivistik kuantitatif. Sebagian besar peneliti ekonomi beranggapan bahwa pendekatan ini dianggap lebih canggih, lebih baik dibandingkan dengan pendekatan kualitatif. Sehingga mereka beranggapan bahwa penelitian dengan pendekatan kualitatif tidak obyektif dan diragukan kebenarannya.Namun sejalan dengan waktu serta munculnya ilmu-ilmu baru seperti ekonomi islam maka pendekatan kualitatif memdapatkan tempat tersendiri. Menurut Jensen dalam Dedy (2001) berkembangnya pendekatan kualitatif dipicu oleh dua kondisi.Pertama, dilihat dari sisi internal komunitas ilmiah : banyak pakar yang mempertanyakan kemampuan ekplanasi dari pendekatan empiris konvensional dalam ilmu-ilmu sosial. Ada banyak isu-isu penelitian tidak cukup dimaknai melalui metode positivistik kuantitatif.Kedua, dilihat dari kondisi eksternal komunitas ilmiah : Perkembangan ilmu sering kali berkaitan dengan perubahan dalam bidang sosioekonomi yang lebih luas, sehingga pendekatan kualitatif diperlukan untuk beradaptasi dengan realitas sosial yang baru yang sering kali disebut dengan masyarakat paska industri dan masyarakat informasi. Hal inilah yang kemudian menuntut pencarian teori-teori dan metode-metode baru yang lebih konstektual untuk memahami kompleksitas sosial budaya serta perubahannya.Para peneliti berkeyakinan bahwa metodologi positivistik, tidak mampu untuk meningkatkan pengetahuan dalam bidang ekonomi yang ‘meloncat’ sedemikian rupa karena perubahan realitas sosial diatas, apalagi dalam kajian ekonomi Islam yang dianggap sebagi ilmu yang relatif baru. Harus diakui sebagian teori ekonomi Islam (jika dianggap sudah ada) merupakan produk yang diderivasikan dari ilmu ekonomi konvensional yang sangat dipengaruhi oleh budaya, serta cara pandang masyarakat barat. Oleh karena itu perlu dibangun teori ekonomi Islam yang “truly islamic” yang dibangun dari cara pandang Islam, visi Islam (Haneef, 1997). Oleh karena itu untuk membangun teori ekonomi Islam mustahil dilakukan melalui pendekatan positivistik. Untuk membangun teori ekonomi Islam perlu dilakukan teoritisasi atas data empiris, yang tidak dapat dilakukan dengan hanya sekedar memberi kode angka terhadap simbol-simbol serta dinamika pelaku ekonomi Islam. Penelitian ekonomi Islam ini tidak dapat dilakukan dalam kondisi ‘laboratorium’ serta simulasi yang sangat positivistik.Salah satu metodologi penelitian kualititatif yang cukup populer di ilmu-ilmu sosial (kecuali di bidang ekonomi tentunya) adalah grounded theory. Grounded theory dikembangkan pertama kali oleh Barney Glaser dan Anselm Strauss pada tahun 1960an. Grounded theory merupakan metodologi untuk menciptakan teori secara induktif (Paton, 1990). Glaser dan Strauss dalam tulisannya The Discovery of Grounded Theory (1967) secara khusus mengatakan tujuan grounded theory adalah agar peneliti ilmu-ilmu sosial memiliki kemampuan untuk menciptakan teori (Glaser dalam Douglas, 2004). Menurut Glaser grounded theory adalah teori yang diperolah secara induktif dari penelitian tentang fenomena yang dijelaskannya. Karenanya teori ini ditemukan, disusun dan dibuktikan untuk sementara melalui pengumpulan data yang sistematis dan analisis data yang berkenaan dengan fenomena itu (Strauss & Corbin, 2003). Jadi penekananya pada pendekatan sistematis ketika mengumpulkan data, penanganan data serta analisis data.Tulisan kecil ini bertujuan untuk menyumbang sedikit pemikiran tentang penelitian di bidang ekonomi islam melalui metodologi yang grounded theory. Dengan tetap mempertimbangkan aspek kredibilitas penelitian.Penelitian Ekonomi Islam dan Grounded TheoryEkonomi Islam sendiri merupakan implementasi ilmu ekonomi dalam kehidupan riel baik bagi individu, keluarga, kelompok masyarakat maupun pemerintah serta sesuai dengan hukum Allah (sunatullah).. Jadi dilihat dari kacamata sosial, riset ekonomi Islam memiliki kesamaan atas obyek yang diteliti. Yaitu adanya aktor (pelaku), perilaku, serta adanya interaksi antar aktor. Yang membedakan adalah adanya ketundukan atas hukum Allah yang terdapat dalam Al Qur’an serta Sunnah Nabi. Apapun jenis riset kualitatif termasuk juga grounded theory tidak boleh mengabaikan peran aktor baik didalam komunitas maupun diluar komunitas yang akan saling mempengaruhi terhadap interaksi aktor tersebut termasuk bagaimana Al Qur’an serta Hadist akan mempengaruhi cara pandang serta tindakan yang dilakukan oleh aktor tersebut.Suatu design penelitian yang digunakan, oleh karena itu harus mampu mengetahui perilaku aktor yang terlibat dari baik cara pandangnya, interprestasinya, dinamikanya serta atribut interaksinya. Grounded theory memiliki keunggulan dalam hal mampu meneliti secara lebih dalam dan detail atas realitas tersebut. Grounded theory mampu mewadahi penelitian ekonomi Islam dalam tingkat lingkup yang kecil (mikro). Penyelidikan dilakukan secara detail dan mendalam, bagaimana aktor-aktor ekonomi berperilaku serta interaksi terhadap lingkungan sangat sesuai dengan metodologi grounded theoryPertanyaan utama yang muncul adalah apakah hasil penelitian grounded theory dapat dipercaya kebenarannya secara ilmiah ? Tafsiran kebenaran itu sendiri berbeda-beda. Positivisme berpendapat bahwa kebenaran sudah ada di sekitar kita, tinggal kita mendapatkannya melalui pengamatan tanpa prasangka. Kebenaran adalah hasil penelitian yang sesuai dengan dunia nyata. Sehingga bagi positivisme, penelitian kuantitatif dianggap lebih obyektif. Sedangkan post positivisme tidak menerima adanya hanya satu kebenaran (Lincoln & Guba dalam Glaser, 2004). Realitas itu tidak hanya satu (single) tetapi multiple realitas, oleh karena itu dalam penelitian kualitatif termasuk grounded theory kebenaran mengandung unsur subyektifitas. Paton (1990) percaya bahwa sifata obyektif dan sifat subyektif tersebut merupakan debat paradigma yang tidak akan habis. Oleh karena itu menurut Breuer & Reichertz (2001) sekalipun mengandung unsur subyektifitas penelitian kualitatif tersebut harus dapat dipercaya dan memenuhi unsur kredibilitas, karena ukuran kebenaran dalam penelitian kualitatif adalah kredibilitas. Kredibilitas dalam penelitian kualitatif diukur dari beberapa aspek yaitu validitas dan reabilitas, generalisasi, transferabilitas serta konfirmabilitas.Tentu saja pemaknaan atas validitas dan reabilitas, generalisasi, transferabilitas serta konfirmabilitas akan berbeda dengan metodologi penelitian positivistik (Bergman & Coxon, 2005). Validitas menunjukkan seberapa benar alat ukur yang digunakan peneliti mengukur apa yang akan diukur oleh peneliti. Dikenal ada dua konsep validitas yaitu validitas internal dan validitas eksternal. Dalam penelitian dengan metodologi grounded theory, validitas internal menunjukkan konsep yang ada pada peneliti dengan konsep yang ada pada aktor. Untuk meningkatkan validitas internal peneliti dapat menggunakan beberapa cara yaitu : memperpanjang waktu penelitian, mengurangi pengaruh pribadi peneliti dengan aktor, melakukan seleksi terhadap aktor yang akan diteliti (Nasution, 2003). Sedangkan validitas ekternal dalam penelitian dengan metodologi grounded theory berkenaan dengan tingkat aplikasi yaitu hingga sejauh mana hasil penelitian juga diaplikasikan untuk kasus lainnya. Jadi hasil penelitian dengan metodologi grounded theory harus memungkinkan untuk melakukan perbandingan dengan hasil-hasil penelitian lain yang dilakukan oleh peneliti lain (Breuer & Reichertz, 2001). Sehingga dalam validitas eksternal terkandung juga unsur transferabilitas penelitian (Nasution, 2003), sedangkan Lincoln & Guba (dalam Douglas, 2003) menyebutnya dengan istilah generalisasi naturalistik. Oleh karena validitas eksternal tergantung dari sisi pemakai hasil penelitian tersebut maka peneliti tidak dapat menjamin validitas eksternal tersebut, peneliti memandang transferabilitas sebagai suatu kemungkinan. Oleh karena itu peneliti harus memberikan deskripsi yang sangat rinci dan detail bagaimana proses temuan penelitian tersebut. Oleh karena itu tranferabilitas tergantung kepada seberapa besar kesamaan antara situasi penelitian awal dengan situasi dimana akan ditranfer. Peneliti tidak dapat melakukan transfer atas hasil temuan, tetapi hanya menyediakan informasi yang dapat digunakan peneliti lain untuk melakukan penelitian baru. Paton (1990) menyebut hal ini dengan istilah ektrapolasi.Dalam penelitian positivistik reabilitas merupakan syarat bagi validitas. Dengan menggunakan alat ukur yang reabel maka akan diperoleh data yang valid. Akan tetapi sama seperti penelitian kualitatif pada umumnya, alat ukur dalam grounded theory adalah peneliti itu sendiri. Secara teoritis dapat saja digunakan dua atau lebih peneliti agar hasilnya dapat diandalkan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus yang disebut dengan audit trail (Nasution, 2003). Yaitu peneliti melakukan penelusuran kembali atas temuan penelitian terhadap data mentah (catatatan interview, rekaman, catatan observasi dsb) dan catatan analisis, metode rekontruksi dan sintesis, catatan proses, catatan personal serta tahap perkembangan penelitian (Douglas, 2004). Pada proses ini melekat juga komfirmabilitas atas hasil penelitian dan proses metodologi. Dengan demikian sesudah dilakukan audit trail memungkinkan peneliti lain untuk melakukan review atas data yang sudah terkumpul serta melakukan analisis ulang. Atas aspek komfirmabilitas tersebut diatas, maka subyektifitas dalam metodologi grounded theory dapat dikurangi bahkan dihilangkan sehingga proses penelitian tersebut dapat memenuhi unsur kredibilitas.Harus diingat bahwa teori-teori ekonomi Islam yang ada selama ini hanya sekedar melakukan Islamisasi atas ilmu ekonomi konvensional, dan belum dibangun atas realitas empiris sebagaimana ilmu ekonomi konvensional dibangun. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian yang akan melakukan teoritisasi atas data empiris. Sedangkan untuk melakukan teoritisasi atas data paling mudah dilakukan pada wilayah tertentu atau komunitas tertentu yang memiliki ruang lingkup terbatas (mikro) yang kemudian dapat dikembangkan lebih jauh untuk ruang lingkup yang lebih besar (makro). Penelitian atas wilayah atau komunitas tertentu dalam waktu tertentu disebut dengan pendekatan studi kasus. Metodologi grounded theory sangat tepat untuk melakukan penelitian dengan pendekatan studi kasus. Cara grounded theory menangani data serta intreprestasi data sangat pas dan sesuai dengan penelitian studi kasus (Post & Andrews dalam Douglas, 2004). Menurut mereka, sangat bermanfaat sekali jika menggunakan metodologi grounded theory dalam melakukan analisis kasus. Strauss juga mendukung grounded theory dalam melakukan analisis kasus (Strauss & Corbin, 2003). Dengan demikian dapat muncul teori ekonomi islam yang grounded.PenutupTulisan ini sekedar sebagi usulan awal bahwa metodologi grounded theory dapat digunakan sebagai alternatif metodologi dalam penelitian ekonomi khususnya ekonomi Islam terutama ketika teori-teori ekonomi Islam belum dibangun atas realitas empiris. Metodologi ini sangat tepat digunakan untuk melakukan penelitian tentang realitas sosial ekonomi dengan melihat aktivitas, dinamika serta interaksi aktor dengan ruang lingkup terbatas (mikro). Tentu saja hasil penelitian dengan metodologi grounded theory diakui kebenarannya secara ilmiah selama tidak meninggalkan aspek-aspek kredibilitas penelitian yang meliputi aspek validitas dan reabilitas, generalisasi, transferabilitas serta konfirmabilitas










1 komentar:

Unknown mengatakan...

Making Money - Work/Tennis: The Ultimate Guide
The way you would expect from betting on the tennis matches of https://septcasino.com/review/merit-casino/ tennis is to bet 출장샵 on the player you wooricasinos.info like most. But you also need a febcasino different หารายได้เสริม