Rabu, 14 Mei 2008

KELEBIHAN PERADABAN BARAT

Dalam artikel singkatnya, Edwin A. Locke membahas sesuatu yang menarik mengenai budaya dengan tidak hanya membatasi pada keragaman budaya dalam lingkup Negara atau nasional. Akan tetapi, membahas kebudayaan dalam lingkup internasional yang memiliki cakupan bahasan lebih luas dibandingkan dengan budaya yang bersifat nasional. Ada dua kelompok besar peradaban di dunia ini yaitu, peradaban Barat dan peradaban Timur yang mana masing-masing dari keduanya memilki ciri khas yang menjadi pembeda di antara keduanya.

Untuk menghindari terjadinya perselisihan di antara dua kubu peradaban haruslah ditanamkan konsep multikulturalisme yang menyatakan bahwa semua budaya memiliki kedudukan yang sama. Tidak ada yang lebih benar dan lebih berkuasa dari yang lain. Jika pemahaman tentang konsep multikulturalisme tersebut telah benar-benar dimengerti tentu akan menjadi sangat tidak adil jika dikatakan bahwa peradaban barat memiliki kelebihan dibanding peradaban timur. Menurut saya, pernyataan itu memang tidak bisa dikatakan salah secara mutlak jika saja kebudayaan hanya memiliki arti spesifik yang terletak pada keintelektualan. Akan tetapi, kebudayaan merupakan hasil dari semua cipta, rasa dan karsa manusia yang tidak hanya berhenti pada ketinggian intelektual.

Memang, kita semua mengakui bahwa orang-orang barat kebanyakan memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi daripada orang-orang timur. Namun, besar kemungkinan mereka memiliki akhlak atau moral yang jauh lebih rendah daripada orang-orang timur. Padahal, akhlak dalam berperilaku juga termasuk dalam konteks kebudayaan.

Saya setuju bahwa ada tiga aspek penting yang menjadikan suatu kebudayaan lebih bermakna. Karena, memang dengan adanya reason, individual right, dan science and technology, peradaban manusia akan lebih maju dan berkembang dari zaman sebelumnya. Namun, saya juga tidak setuju jika individual right yang dimaksud adalah kebebasan mutlak tanpa batas. Karena, biar bagaimanapun kebebasan yang kita miliki dibatasi oleh kebebasan orang lain. Dan jika kita tetap mempertahankan kemutlakan individual right yang akan terwujud bukanlah suatu kemajuan pada peradaban, akan tetapi yang akan timbul adalah kerusakan terhadap kebudayaan. Karena masing-masing dari individu akan mempertahankan hak-hak individunya dan akan hilanglah toleransi yang menjadi dasar dari multikulturalisme. Akan lebih baik jika individual right lebih difokuskan pada kebebasan kita dalam berpikir dan berkreasi dengan tidak melupakan kepentingan orang lain.

Jadi, kesimpulannya tidak ada kelebihan pada satu peradaban. Kelebihan dan kekurangan muncul tergantung dari siapa yang menilai.

INTERAKSI SOSIAL SEBAGAI FAKTOR UTAMA DALAM KEHIDUPAN SOSIAL

BAB I
PENDAHULUAN

Pengetahuan mengenai proses interaksi sosial tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang tidak penting. Karena dengan mengetahui proses interaksi sosial kita akan memperoleh gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama manusia. Selain itu, kita akan memperoleh pengertian mengenai segi yang dinamis dari masyarakat atau gerak masyarakat.
Kedinamisan yang terjadi dalam masyarakat merupakan akibat dari adanya hubungan antar warga baik secara perorangan maupun melalui kelompok sosial. Dan tak selamanya hubungan itu berjalan tanpa kendala. Hanya dengan interaksi yang baik dan benarlah akan tercipta suatu tatanan kehidupan sosial yang baik pula.
Perlu kita ketahui interaksi yang terjadi di masyarakat tak hanya bersifat positif . karena setiap interaksi mempunyai suatu derajat dinamika tertentu yang menyebabkan pola-pola perilaku yang berbeda, tergantung dari masing-masing situasi yang dihadapi. Bisa saja interaksi tersebut terjadi melalui persaingan, pertandingan, bahkan pertikaian dan lain sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Interaksi Sosial
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi sosial merupakan bentuk umum sekaligus dasar dari proses sosial. Kimball Young dan Raymond dalam bukunya yang berjudul Sociology and Social Life mengatakan bahwa “Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama.”
Interaksi sosial dimulai pada saat dua orang bertemu. Namun perlu diingat sekedar pertemuan badaniah orang-perorangan tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan baru akan terjadi apabila orang-orang perorangan atau kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara dan seterusnya.
Berlangsungnya proses interaksi sosial didasarkan pada berbagai faktor, antara lain, faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Dalam bukunya yang berjudul “Faktor-faktor Dasar Interaksi Sosial dan Kepatuhan Pada Hukum” Soerjono Soekamto menyebutkan bahwa faktor-faktor tersebut merupakan faktor-faktor minimal yang menjadi dasar bagi berlangsungnya proses interaksi sosial. Walaupun di dalam kenyataannya proses tadi memang sangat kompleks, sehingga kadang-kadang sulit mengadakan pembedaan tegas antara faktor-faktor tersebut.
Interaksi sosial tidak akan terjadi jika tidak ada interaksi dengan diri sendiri. Dan menurut Mead interaksi dengan diri sendiri itu ditandai dengan adanya proses berfikir. Dengan berfikir individu memilih yang mana di antara stimulus yang tertuju kepadanya itu yang akan ditanggapinya. Sehingga kita tidak secara langsung menanggapi stimulus, tetapi terlebih dahulu memilih dan kemudian memutuskan stimulus mana yang akan ditanggapi.
B. Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Sosial
Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu:
1. Adanya kontak sosial yang dapat berlangsung dalam 3 bentuk, sebagai berikut:
a. Antara orang-perorangan
Kontak sosial ini adalah apabila anak kecil mempelajari kebiasaan-kebiasaan dalam keluarganya. Proses demikian terjadi melalui sosialisasi, yaitu suatu proses dimana anggota masyarakat yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat dimana dia menjadi anggota.
b. Antara orang-perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya.
Kontak sosial ini misalnya adalah apabila seseorang merasakan bahwa tindakan-tindakannya berlawanan dengan norma-norma masyarakat atau apabila suatu partai politik memaksa anggota-anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan ideologi dan programnya.
c. Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya.
Umpamanya adalah dua partai politik mengadakan kerjasama untuk mengalahkan partai politik yang ketiga di dalam pemilihan umum.
2. Adanya komunikasi
Arti terpenting komunikasi adalah jika seseorang memberikan taksiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak gerik badan atau sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut dan orang yang bersangkutan memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain tersebut.
Dengan adanya komunikasi, sikap-sikap dan perasaan suatu kelompok manusia atau orang-perorangan dapat diketahui oleh kelompok-kelompok lain atau orang-orang lainnya. Tanpa adanya komunikasi kontak sosial tidak mempunyai arti apa-apa.
Dengan komunikasi memungkinkan terjadinya kerja sama. Akan tetapi, menurut Emory S. Bogardus, tidak selalu komunikasi menghasilkan kerjasama bahkan suatu pertikaian mungkin akan terjadi sebagai akibat salah paham atau karena masing-masing tidak mau mengalah.
C. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial
Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerjasama (corporation), persaingan (competition), akomodasi (accommodation), dan bahkan berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict).
Adapun pendapat dari tiga tokoh sosiologi berhubungan dengan bentuk-bentuk interaksi sosial adalah sebagai berikut:
1. Gillin dan Gillin, bentuk interaksi adalah:
a. Proses yang asosiatif (akomodasi, asimilasi, dan akulturasi).
b. Proses yang disasosiatif (persaingan, pertentangan).
2. Kimball Young, bentuk interaksi adalah:
a. Oposisi (persaingan dan pertentangan).
b. Kerjasama yang menghasilkan akomodasi.
c. Diferensiasi (tiap individu mempunyai hak dan kewajiban atas dasar perbedaan usia, seks, dan pekerjaan).
3. Tomatsu Shibutani, bentuk interaksi adalah:
a. Akomodasi dalam situasi rutin.
b. Ekspresi pertemuan dan anjuran.
c. Interaksi strategis dalam pertentangan.
d. Pengembangan perilaku massa.
1) Proses-proses Asosiatif
a) Kerjasama (Cooperation)
Ada lima bentuk kerjasama:
(1) Kerukunan yang mencakup gotong royong dan tolong menolong.
(2) Bargaining: pelaksanaan perjanjian.
(3) Kooptasi: proses penerimaan unsur-unsur baru untuk menghindari goncangan stabilitas organisasi.
(4) Koalisi: kombinasi dua organisasi atau lebih dengan tujuan sama.
(5) Joint Venture: kerjasama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu.
b) Akomodasi (Accomodation)
Menurut Gillin dan Gillin, akomodasi adalah suatu pengertian yang digunakan oleh para sosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama artinya dengan pengertian adaptasi yang dipergunakan oleh ahli-ahli biologi untuk menunjuk pada suatu proses dimana makhluk-makhluk hidup menyesuaikan dirinya dengan alam sekitarnya.
Akomodasi dipergunakan dalam dua arti, sebagai berikut:
(1) Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti kenyataan adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara individu dan kelompok sehubungan dengan norma-norma sosial dan nila-nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat.
(2) Akomodasi yang menunjuk pada suatu proses sebagai suatu proses akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan.
Bentuk-bentuk akomodasi:
a) Coercion (adanya paksaan)
b) Compromise
c) Arbitration
d) Mediation
e) Conciliation
f) Toleration
g) Stalemate
h) Adjudication
2) Proses Disosiatif
a) Persaingan (Competition)
Menurut Gillin dan Gillin persaingan dapat diartikan sebagai proses sosial. Dimana individu atau kelompok-kelompok manusia bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan.
Bentuk-bentuk persaingan:
(1) persaingan ekonomi
(2) persaingan kebudayaan
(3) persaingan untuk mencapai kedudukan dan peranan tertentu dalam masyarakat
(4) persaingan karena perbedaan ras
Fungsi-fungsi persaingan:
(1) untuk menyalurkan keinginan-keinginan yang bersifat kompetitif
(2) sebagai jalan di mana keinginan, kepentingan serta nilai-nilai yang pada suatu masa menjadi pusat perhatian tersalurkan dengan baik
(3) sebagai alat untuk mengadakan seleksi atas dasar seks dan seleksi sosial
(4) sebagai alat untuk menyaring warga golongan-golongan karya untuk mengadakan pembagian kerja
Hasil suatu persaingan:
(1) perubahan kepribadian seseorang
(2) kemajuan
(3) solidaritas kelompok
(4) disorganisasi
b) Kontravensi (Contravention)
Merupakan bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian kontraversi merupakan sikap mental yang tersembunyi terhadap orang-orang lain atau terhadap unsur-unsur kebudayaan golongan tertentu.
Bentuk-bentuk kontravensi:
(1) Perbuatan penolakan, perlawanan, dan lain-lain
(2) Menyangkal pernyataan orang lain dimuka umum
(3) Melakukan penghasutan
(4) Berkhianat
(5) Mengejutkan lawan

HUBUNGAN POLITIK DAN PENDIDIKAN

BAB I
HUBUNGAN POLITIK DAN PENDIDIKAN

Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negara. Keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara.
Menurut Abernethy dan Coombe (1965: 287), hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik terjadi melalui tiga aspek, yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran (unemployment), dan peranan politik kaum cendekia (the political role of the intelligentsia).
Hubungan kekuasaan antar berbagai kelompok masyarakat banyak dipengaruhi oleh kesempatan belajar dan intensitas respon mereka terhadap pendidikan.
Bertahan atau tidaknya sistem pendidikan tunggal dlam masyarakat pluralis tergantung pada dua hal, yakni sistem tersebut memberi kesempatan yang sama pada semua kelompok masyarakat dan generasi muda mengalami bahwa belajar bersama dapat mencairkan perbedaan-perbedaan sosial mereka (Abernethy dan Coombe, 1965:290).
Pendidikan dan dunia kerja memiliki hubungan yang sangat kompleks. Keberhasilan pendidikan yang tidak diimbangi ketersediaan lapangan kerja akan menimbulkan pengangguran.
Hubungan antara politik dan pendidikan terwujud dalam berbagai bentuk yang berbeda. Dalam masyarakat modern, pendidikan adalah komoditi politik yang sangat penting. Sebagai komoditi politik, pendidikan bersifat politis yang dikontrol oleh pemerintah dan mempengaruhi kredibilitas pemerintah, sehingga pendidikan sering “dipaksa” menyesuaikan diri dengan pola-pola administratif umum dan norma-norma yang berlaku.
Jika politik dipahami sebagai “politik kekuatan, kekuasaan, dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi sumber daya dan nilai-nilai sosial” (Herman, 1974: 9). Maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah sebuah bisnis politik.
Akan tetapi, tidak semua orang mengakui dan mendukung realitas kuatnya hubungan atau keterkaitan antara politik dan pendidikan. Roesco Martin, seorang ilmuwan politik memandang bahwa infiltrasi politik dalam dunia pendidikan adalah sesuatu yang berbahaya.
Ide tentang non-political school telah muncul di Amerika Serikat sejak tahun 70-an. Dan ide tersebut muncul juga di Australia, karena bedanya berbagai faktor.
Namun demikian, Harman (1974: 5) berpendapat bahwa pendidikan dan politik merupakan dua hal yang sama sekali terpisah, tidak mengandung kebenaran, karena politik dan pendidikan saling terkait dan saling mempengaruhi. Keduanya merupakan aktifitas mendasar dalam semua masyarakat manusia.
Pendidikan menyangkut proses transmisi ilmu pengetahuan dan budaya, serta perkembangan ketrampilan dan pelatihan untuk tenaga kerja, dan politik berkenaan dengan praktik kekuasaan, pengaruh, dan otoritas, dan berkenaan dengan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi nilai-nilai dan sumber daya.

Hambatan Ke Depan
Politisasi terhadap pendidikan saat ini sudah semakin meningkat. Kita boleh saja berpikir bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dan politik. Namun, kita juga harus melihat realitas yang ada. Untuk dapat memahami berbagai persoalan pendidikan yang ada di tengah masyarakat diperlukan pengetahuan tentang aspek-aspek dan konteks politik dari persoalan-persoalan kependidikan tersebut.

Perkembangan Di Indonesia
Di Indonesia, kepedulian terhadap hubungan pendidikan dan politik sudah mulai berkembang dalam wacana publik, walaupun belum menjadi satu bidang kajian akademik.
Dalam dua dekade terakhir, memasuki abad ke-21 dan pemberlakuan otonomi daerah, lingkungan politik pendidikan di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan penting yang ditandai tiga kecenderungan utama. Pertama, terjadinya perubahan peranan pemerintah pusat dan darah dalam kebijakan pendidikan. Kedua, semakin terfragmentasinya pendidikan. Ketiga, muncul kembalinya kepentingan-kepentingan non-kependidikan.

BAB II
FUNGSI POLITIK INSTITUSI PENDIDIKAN

Selain saling mempengaruhi, terdapat juga hubungan fungsional antara pendidikan dan politik.

Institusi Pendidikan Sebagai Alat Kekuasaan?
Berbagai aspek pembelajaran sering kali diarahkan pada kepentingan politik tertentu, sehingga institusi pendidikan dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki.
Peluang untuk mengarahkan berbagai unsur kependidikan pada kebutuhan politik tertentu sangat besar. Stabilitas atau transformasi politik banyak ditentukan oleh faktor pendidikan.

Sosialisasi Politik atau Politisasi
Sistem pendidikan turut serta mengembangkan dan mentransmisi berbagai orientasi politik. Menurut Easton (1957: 311), salah satu prasyarat fundamental bertahannya sistem politik adalah apabila orang-orang yang terlibat dalam sistem politik adalah apabila orang-orang yang terlibat dalam sistem politik tersebut berhasil mentransfer ilmu pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap yang mereka kehendaki. Dan bagian paling relevan dari proses conditioning ini adalah politisasi.
Politisasi diperlukan, baik untuk mempertahankan maupun untuk menggerogoti kekuasaan. Politisasi bisa menumbuhkan keyakinan akan kemampuan politik (political efficacy) di kalangan masyarakat, yaitu “suatu gambaran bahwa seseorang menilai dirinya dapat mempengaruhi proses keputusan politik pemerintah”. (Massialas, 1969: 157).

Orientasi Dasar Politik
Menurut Easton (1957: 311-312), orientasi dasar politik (basic political orientation), mencakup tiga elemen utama. Pertama, political objects atau perceived images. Kedua, values atau desired images. Ketiga, political attitude.
Proses pembentukan dan transmisi orientasi dasar politik bisa ditanamkan melalui institusi-institusi pendidikan. Pendidikan formal sangat mempengaruhi proses rekruitmen politik.

Civic Education
Studi-studi politik pendidikan dapat diarahkan pada problem areas yang cukup luas. Bagaimana transmisi berbagai jenis orientasi secara signifikan berhubungan dengan karakteristik sosio-ekonomi, pandangan politik, etnisitas, agama, dan sejenisnya? Apakah terjadi disparitas antara perceived image dan desired image dalam pikiran siswa? Dan lain-lain.
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, membantu para ilmuwan politik memahami secara konkret proses yang dilakukan oleh pendidikan dalam mempengaruhi integrasi sistem politik. Oleh karena itu, pendidikan kewarganegaraan (civic education) perlu dicantumkan dalam kurikulum pendidikan di berbagai negara.

BAB IV
PROSPEK KAJIAN POLITIK PENDIDIKAN

Sebagai suatu bidang kajian yang relatif baru, kelayakan politik pendidikan (the politics of education) banyak dipertanyakan, baik oleh para sarjana ilmu politik maupun oleh para sarjana ilmu pendidikan. Sehingga memperlambat pengakuan terhadap politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian tersendiri.

Wacana Politik Pendidikan
Politik pendidikan (the politics of education) harus dibedakan dengan politik kependidikan (educational politics). Jika politik pendidikan membicarakan aspek-aspek politik dari pendidikan, politik kependidikan adalah upaya-upaya (sadar dan terorganisasi) untuk mempengaruhi input, proses, dan output pendidikan. (Archer, 1985: 39).
Dalam praktiknya, tandas Archer (1985: 42), educational politics terimplementasi dalam tiga jenis negosiasi yang berbeda-beda. Jenis pertama, adalah inisiasi internal. Jenis kedua adalah inisiasi eksternal. Jenis ketiga adalah manipulasi politik.
Menurut Dale (1989: 42), education politics adalah studi terhadap efektifitas sistem pendidikan dan bentuk-bentuk pengelolaan pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan yang dibebankan pada mereka. Yang mana studi ini memiliki tiga ciri utama, yaitu :
1) Mempertanyakan proses pembuatan keputusan
2) Mereduksi politik menjadi administrasi
3) Terfokus pada perangkat kerja.
Adapun the politics of education adalah relasi antara produksi tujuan-tujuan dan bentuk pencapaiannya.



Perkembangan Kajian Politik Pendidikan
Menurut catatan Mitchell, aplikasi analisis politik terhadap studi kependidikan sepenuhnya terabaikan sebelum tahun 1950-an. Dan perkembangan politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian tersendiri dipicu oleh artikel yang ditulis oleh Thomas H. Eliot yang berjudul “Toward an Understanding of Public School Politics” yang dimuat di American Political Science Review, Volume 53, Nomor 4, Desember 1959, halaman 1032-1052.
Sepuluh tahun kemudian, 1969, American Educational Research Association (AERA) berhasil membentuk divisi khusus para peneliti politik pendidikan. Krist dan Mosher (1969: 623) yakin bahwa perkembangan tersebut bertitik tolak dari suatu kesadaran bahwa isu-isu dan problematika pendidikan membutuhkan model analisis sains-kebijakan (policy-science).
Kajian policy-science menyajikan sesuatu yang berbeda karena kajian ini memperhatikan tiga isu:
1. Efek alokatif dari saksi-saksi politik “siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana.
2. Situasi educational-policy system yang sedang berjalan.
3. Efektifitas sistem yang ada dalam mencapai tujuan yang diharapkan dari kebijakan.

Minat Kajian Politik Pendidikan
Perhatian para ilmuwan pendidikan terhadap aspek-aspek politik pendidikan dan para ilmuwan politik terhadap persoalan-persoalan kependidikan berkembang sangat lamban. Dalam masalah itu, Easton (1957: 304-306) memberi dua alasan yaitu :
1) adanya peningkatan spesialisasi disiplin keilmuan dan penelitian dalam ilmu-ilmu politik.
2) karena hingga akhir tahun 1950-an para ilmuwan politik terlalu banyak memperhatikan persoalan-persoalan kekuasaan atau teori politik normatif.
Menurut Harman (1974: 14-15), tidak tertariknya para ilmuwan politik pada persoalan pendidikan disebabkan empat hal yaitu :
1) mereka terlalu banyak terlibat dengan studi tentang institusi-institusi formal pemerintah dan politik nasional dan internasional.
2) status profesional dan intelektual pendidikan yang rendah.
3) kurangnya perbedaan yang serius tentang kebijakan pendidikan.
4) adanya kepercayaan bahwa pendidikan harus dikeluarkan dari politik.
Oleh Mitchell, perhatian terhadap politik pendidikan dilihat sebagai dampak langsung dari perkembangan kehidupan sosial masyarakat. Ia mencatat perkembangan kehidupan sosial yang menjauhkan perhatian para sarjana pada dimensi politik pendidikan publik, yaitu reformasi gerakan politik urban, diadopsinya filsafat progresif oleh para pendidik berpengaruh, dan berkembangnya scientific management.
Memasuki paruh pertama abad dua puluh, isu-isu utama dalam politik pendidikan adalah the 3 Rs: Religion, Race and Rural/Urban conflicts tentang keuangan sekolah (Lannaconne dan Ciston; dalam Mitchell: 155). Pada awal abad dua puluh, Mitchell mencatat, politik pendidikan dikontrol oleh tujuh keputusan penting, yaitu:
1) Produktivitas ekonomi atau sosialisasi civic;
2) Otoritas sentralistik atau otonomi lokal?;
3) Sekolah sebagai budaya atau sebagai instrumen reformasi?;
4) Dikendalikan oleh birokrasi atau oleh komunitas profesional?;
5) Pilihan swasta atau kepentingan publik?;
6) Hak milik atau identitas budaya?; dan
7) Teknologi sebagai problem atau sebagai solusi?
Mulai awal 1960-an, minat para ilmuwan politik dan mahasiswa pendidikan untuk mengkaji politik pendidikan meluas. Memasuki 1980-an, berdasarkan catatan Harman (1974) penelitian tentang berbagai aspek politik pendidikan dilaksanakan di Jurusan Ilmu Politik dan Ilmu Pendidikan di banyak Universitas dan pusat penelitian di seluruh dunia.
Adanya kecenderungan terus menerus dalam spesialiasasi riset serta tumbuhnya kesadaran dalam ilmu-ilmu sosial dan dalam ilmu pendidikan tentang keterkaitan antara institusi-institusi dan proses-proses sosial, menarik minat sejumlah sarjana ilmu politik untuk meneliti pendidikan. Selain itu, mereka juga berkeinginan keras untuk terlibat dalam proyek-proyek yang memiliki aplikasi langsung dan praktis untuk perbaikan masyarakat.

Fokus dan Manfaat Kajian
Tugas utama kajian politik pendidikan, menurut Easton (1957:305) adalah mengungkapkan cara-cara yang digunakan oleh kelompok-kelompok kependidikan dalam upaya mereka untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan mereka dan untuk memaksimalkan alokasi dana dari pemerintah untuk mereka.
Menurut Harman (1974: 1), studi politik pendidikan dapat meningkatkan pemahaman kita tentang kehidupan politik, tentang berbagai proses dan lembaga pendidikan, dan tentang interaksi antara pendidikan dan politik dalam masyarakat yang berbeda-beda.

Tantangan Ke Depan
Hambatan-hambatan baru selalu muncul dalam perkembangan politik pendidikan. Hambatan-hambatan baru tersebut menurut Harman (1980: 4) meliputi:
1. The Problem of Meanings
2. Kurang Perspektif
3. Keraguan Tentang Investigasi Sistematik
4. Rasa Ketidakberdayaan Profesional





Prospek di Indonesia
Pengalaman bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan memperlihatkan betapa penting arti pendidikan bagi bangunan politik dan sebaliknya, betapa penting arti politik bagi perkembangan pendidikan.
Untuk itu, perspektif masyarakat tentang pendidikan perlu diperluas, dari hanya terbatas pada lingkup ruang kelas ke lingkup lingkungan sosial politik. Dan pada konteks ini kita pantas optimis bahwa pada masa-masa mendatang, kajian-kajian politik pendidikan akan semakin berkembang pesat.

Sumber: Politik Pendidikan (Dinamika Hubungi Antara Kepentingan Kekuaaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan), Bab 1, 2, dan 4, M. Sirozi, Ph.D. Rajawali Press, Jakarta, 2005.




SEBELUM………

Kematian pasti datang,,
Itu adalah fakta yang tak akan pernah bisa terelakkan.
Satu bulan, satu minggu, besok, malam nanti,,, atau …. Masya Allah…. 1 detik lagi.
Rupanya,, begitu cepat siklus kehidupan mengitari aku. Mengambil seluruh sisa nafas,, hingga waktu benar-benar menghentikanku.

Kematian!! Akan membuat semua hilang , tenggelam….. terkubur bersama beku yang mencekam.
Tak ada lagi denting-denting nada dunia yang menemani, tak ada lagi celoteh yang menggunjing.
Hhh…..hhh semua hilang begitu saja.

Tak ada lagi tempatku…
Tak ada lagi yang mengenaliku
Tak ada lagi yang mengingatku atau sekedar mengenangku…

Kenangan akan semakin pudar dan masa lalu akan semakin tertinggal.
Ingin… aku tuliskan bait-bait kehidupanku sebagai sedikit kenangan yang kutinggalkan,
Merangkumnya dalam lembar singkat… dan membiarkan angin menerbangkannya dengan berharap ada keikhlasan yang memungut dan menyimpannya.

Ingin….
Kurangkaikan yang sempat tercecer
menjadi untaian permata yang orang tak bosan mengaguminya…..

Ingin ……
Kugali yang masih terpendam,
Menjadikannya tambang yang tak kan pernah habis meski semua datang mengambilnya...

Ingin…..
Kubuka yang masih tertutup,
Sehingga mereka tak lagi terhalang oleh dinding-dinding yang menghalangi pandangan mereka

Tuhan…..
Pada detik yang mana Engkau akan menghentikanku….
Masihkah cukup waktuku untuk mewujudkan impian.
Masih cukupkah waktuku untuk mengukir yang berharga bagi mereka….

Tuhan….
Masih cukup banyakkah tinta yang tersedia untukku….

Tuhan…..
Sampai kapankah….

Ku ingin Tuhan,,,, jika tak ada lagi tempatku….
Izinkan ku tinggalkan tulisan yang akan tetap ada, meski jasadku t’lah hancur bersama masa…

Allohhu Akbar… hanya dengan kuasa_Mu kubisa bertahan hingga detik ini.