Sabtu, 10 Mei 2008

Globalisasi, kendaraan ekonomi negara penganjurnya

Globalisasi yang digembar-gemborkan oleh negara maju sebagai alat untuk memberantas kemiskinan dan membantu negara-negara maju, ternyata hanyalah slogan kosong belaka. Dengan getolnya negara-negara maju mempromosikan bahwa dengan menghilangkan hambatan-hambatan dalam perdagangan maka akan tercapailah kesetaraan ekonomi antara negara maju dengan negara berkembang.

Namun, apa yang terjadi sekarang ini sangat jauh dari apa yang pernah dikampanyekan oleh negara-negara maju. Karena ternyata globalisasi tak ubahnya kendaraan gratis, dengan negara-negara penganjur sebagai freeriders-nya. Sebuah laporan PBB (UNDP,1999) menyebutkan bahwa ketimpangan antara orang-orang kaya dengan orang-orang miskin baik dalam negara maupun antarnegara semakin meluas. Dan ironisnya, yang menjadi penyebab utama dari hal itu adalah sistem perdagangan dan keuangan global.

Merujuk pada peristiwa yang dialami oleh Macan-Macan Asia (Taiwan, Singapura, Malaysia, dan Korea Selatan) yang dulunya pernah mencapai perbaikan ekonomi justru dengan cara melakukan kebalikan dari perintah Bretton Woods, yaitu mengalihkan impor dengan mengembangkan kemampuan mengelola kebutuhan pokok secara internal dengan tidak berbasis pada ekspor. Namun, pada akhirnya mereka mengalami keterpurukan yang teramat memilukan (krisis keuangan Asia 1997-1998) ketika mereka tunduk pada tekanan-tekanan IMF dan Bank Dunia. Tentunya rujukan itu sudah dapat digunakan sebagai ”sinisme tingkat tinggi” jika kita masih menganggap bahwa globalisasi merupakan jalan keluar bagi negara miskin.
Jika kita mau mencermati, kebijakan-kebijakan yang disusun oleh Bretton Woods adalah dirancang untuk memberikan keuntungan kepada negara-negara industri kaya dan korporasi-korporasi global dengan tetap mengatasnamakan rakyat kecil sebagai sasaran kebijakan-kebijakan itu. Iya! Rakyat kecil memang menjadi sasaran, tapi sasaran yang dimaksud ternyata adalah sasaran empuk guna memenuhi ambisius keserakahan mereka. Sungguh, fakta yang menyedihkan.


Dengan membentuk instrumen yang bernama SAPs (Structural Adjustment Programs), IMF dan Bank Dunia semakin kuat mencengkeramkan kuku-kuku kekuasaannya terhadap negara-negara miskin. Ada berbagai persyaratan SAPs yang harus dipenuhi yang kesemuanya lebih pada pembantaian terhadap negara-negara berkembang.

Mengkritisi salah satu persayaratan SAPs yang menyebutkan bahwa harus ada pengurangan secara drastis terhadap berbagai pelayanan sosial dan aparat-aparat yang menjalankannya. Bagaimana hal itu bisa dikatakan sebagai sarana meningkatkan perekonomian negara berkembang? Kacamata seperti apa yang mereka gunakan, sungguh suatu pernyataan yang sulit diterima oleh rasio. Sementara di sisi lain, bantuan terhadap industri-industri kecil lokal dihapuskan. Lalu dengan cara apa negara-negara berkembang bisa mengejar negara maju. Dan dalam kebingungan tersebut bak dewa penolong negara-negara maju menawarkan bingkisan-bingkisan bantuan yang terkemas rapi yang ternyata tak lebih dari jeratan yang kita akan semakin menggelepar dalam jeratan tersebut.

Penghapusan pelayanan sosial tentu akan mempersulit rakyat dalam mendapatkan apa yang diperlukannya. Biaya-biaya kesehatan akan semakin mahal sehingga rakyat yang berada dalam zona ekonomi lemah tak sanggup menggapainya. Dan akhirnya mereka terkapar sebagai tumbal globalisasi. Biaya pendidikan yang semakin mahal memutus harapan kaum elit (ekonomi sulit) untuk mengenyam nikmatnya ilmu. Hal itu menjadikan negara berkembang memiliki kwalitas pendidikan yang rendah sehingga akan semakin mudah bagi negara-negara maju untuk melakukan pembodohan terhadap mereka.

Apa yang saya tulis ini belum ada sekuku hitam dari globalisasi yang keberadaannya semakin global dan kompleks. Namun, saya ingin menegaskan bahwa globalisasi bukanlah hal yang mengenakkan bagi kita. Globalisasi ibarat pil koplo bagi negara berkembang, yang ketika kita sudah mencobanya akan sulit untuk keluar dari jeratnya. Bagaimana keluar dari jerat globalisasi, marilah kita bersama-sama menjadikannya sebagai bahan renungan dan pendobrak jiwa untuk lebih giat dalam menuntut ilmu dan mengaplikasikannya dalam dunia nyata.

Singsingkan lengan baju, lawan globalisasi !!!