Kamis, 25 Desember 2008

YANG TAK SEHEBAT CHAPRA


ini bukan yang terbaik, tapi ini adalah persembahan terindah untuk persahabatan kita. Ini bukanlah akhir dari karyaku, tapi ini adalah awal dari kesuksesan yang akan tetap kurasakan. Sahabat,,,, padamu kutitipkan impian yang belum sempat terwujudkan.”

Entah, sudah berapa kali tulisan itu kubaca. Selarik kata persembahan yang tercetak pada karya pertama Vivi, sahabatku. Singkat dan sangat sederhana, tapi kata-kata itu memiliki makna yang tak pernah bisa aku tuliskan dengan tuts-tuts keyboard yang setiap malam menemaniku menerjemahkan ide-ide ku ke dalam bentuk sebuah buku.
Tak pernah bosan aku untuk mengulang membaca kalimat itu. Karena di balik kalimat itu ada seraut wajah cantik, yang meski terlihat pucat selalu berusaha tersenyum untuk menyambut setiap yang datang kepadanya. Vivi, dialah sahabat yang tetap menemaniku hingga saat ini meski tak seorangpun bisa merasakan kehadirannya. Dialah sahabat yang membawa arah kehidupan baru dalam hidupku. Dialah sahabat yang menunjukkan kepadaku bagaimana caranya berguna bagi orang lain, terlebih bagi dunia.
******
“ Rin, adakah impian besar yang ingin kau capai dalam hidup ini”, tiba-tiba suara lembut itu mengagetkan lamunan konyolku.
“ Hhmmm….. aku ga’ begitu ngerti untuk menjawab apa dengan pertanyaanmu itu. Bagiku semua biasa aja deh. Ga’ da yang istimewa dengan hidupku. Tapi kalo mengenai impian, ku sedang bermimpi punya suami seorang pangeran yang amat tampan, punya duit banyak, hidup enak.” Jawabku ngasal.
Dan tiba-tiba di wajah lembutmu tersirat kekecewaan yang begitu mendalam. Aku jadi nyesel dengan jawabanku tadi. Hhh…h aku memang konyol, di usia 16 tahunku aku belum memiliki gambaran apapun dengan masa depanku. Masa lalu yang buruk telah membuatku kecewa dengan kehidupan ini. Sampai-sampai aku membuat sahabat baikku kecewa dengan jawabanku itu.
“Aduh Vi,, maafin aku. Aku ga’tahu kalo kamu tadi serius. Beneran ni, maafin aku. Habisnya aku bingung sih. Masa depan yang gimana yang harus aku impikan,,, sementara ga’akan ada yang menginginkan masa depanku.” Jawabku dengan wajah memelas (meski belum begitu jelas ni wajah asli apa bo’ongan). Tapi aku serius dengan apa yang aku ucapkan.
Setitik air mata, tiba-tiba menetes. Duh,, aku bener-bener bingung melihat tingkah Vivi. Aku ga’pengen lihat dia nangis, karena selama ini belum pernah sekalipun ku lihat dia nangis. Tahu ga’ ya dia kalo aku ga’pengen lihat dia sedih, apa aku salah ngomong.
“Vi,, ngomong donk. Jangan buat aku bingung dengan kayak gini, apa aku salah ngasih jawaban ma kamu?”
“Rin, jawabanmu ga’salah. Yang salah adalah cara pikirmu. Hhh..hh, sampai kapan kamu akan seperti ini? Ga’ peduli dengan masa depanmu. Cobalah Rin,, apa kamu pikir masalahmu akan selesai dengan hanya menyesali masa lalumu. Kita dah gede Rin. 16 tahun, sebentar lagi kita dah tujuh belas. Kamu masih punya banyak waktu untuk masa depanmu. Masih akan ada usia dua puluh, tiga puluh, bahkan empat puluh yang akan kamu lewati. Apa akan tetap kayak gini? Ga’kan Rin?.” Di sela isakmu kudengar jelas kata-kata itu.
Kita sangat berbeda, itu yang kutahu. Kau selalu optimis dengan masa depanmu, kau terlalu peduli dengan keadaan sekitarmu. Dan kau selalu bermimpi meski kamu sendiripun tak yakin untuk bisa mewujudkannya. Sementara aku,, tak pernah peduli dengan masa depanku sendiri. Untuk siapa aku hidup aku juga tak pernah peduli, apalagi berpikir untuk memberi sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Akan tetapi, kita tak pernah cekcok. Darimu, aku bisa merasakan kasih sayang yang tak aku rasakan di rumahku dan darimu aku mengerti bagaimana rasanya untuk menyayangi. Karena aku sangat menyayangimu Vi.
*****
“Rin,, kamu tahu ga’sih tentang Chapra?” tanyamu di malam itu, ketika aku kembali bermain ke rumahmu.
“Ya taulah,, dia kan pedagang siomay di dekat rumahku. Emang ada apa Vi, kamu habis ketemu dia ya.”
Seperti biasa jawaban ngasal yang selalu kuberikan. Karena aku sendiri ga’ begitu paham dengan apa yang selalu dibicarakan Vivi mengenai penulis-penulis hebat yang digandrunginya.
“Ah kamu mesti deh Rin,, kamu tu harus tau dia. Dia itu orang hebat lho…. Dia menulis banyak hal tentang ekonomi syari’ah. Ekonomi Islam Rin,,, hebat bangetkan.” Binar-binar yang mampu mengalahkan kepucatan wajahmu selalu tampak ketika kamu berbicara mengenai Chapra.
“Hebat apanya,, emangnya kamu dah pernah ketemu dia di mana. Kenal aja belum dah bilang hebat. Aneh kamu itu Vi.”
“Arin!! Kapan ya aku bisa melihatmu sedikit serius. Pengen banget aku ngeliat kamu menghargai karya-karya tulis mereka. Dengan tulisan mereka menelurkan ide-ide yang sangat bermanfaat bagi dunia ini. Lewat tulisannya Chapra mengajak kita untuk melihat sisi lain dari system ekonomi yang saat ini tengah mengalami penurunan kepercayaan dari para penganutnya. Dia menawarkan system ekonomi islam sebagai sebuah solusi, yang menurutku ide itu sangat bagus. Kamu harus banyak membaca Rin, agar kamu tau tentang dunia luar dan apa yang bisa kamu berikan kepada mereka.” Jelasmu panjang lebar.
“Iya Vi,, aku kan juga suka baca. Baca komik. Hehehe…..”
******
Celoteh beberapa tahun silam yang akan tetap membekas dalam memoriku. Sekarang aku peduli Vi, sekarang aku peduli dengan para penulis yang dulu begitu kamu kagumi. Aku baca karya-karya mereka. Aku kenali siapa Chapra, yang setiap hari selalu kamu ceritakan sampai aku bosan untuk mendengarnya. Aku sekarang begitu menyesal karena belum sempat memenuhi keinginanmu untuk melihatku serius terhadap penulis dan karya-karya mereka. Aku terlalu cuek, bahkan untuk sekedar memenuhi keinginanmu saat itu. Tapi, aku tak boleh larut dalam kekecewaan itu karena aku tak ingin mengecewakanmu lagi dengan menyesal berkepanjangan terhadap apa yang telah terjadi.
******
Aku kaget melihatmu sore itu, kamu tampak begitu lelah. Wajahmu semakin pucat, sementara tanganmu tetap menggoreskan pena di atas kertas putih di hadapanmu. Aku ingin mencegahmu. Aku ingin kamu istirahat.
“Vi,, apa yang sedang kamu lakukan. Apa ga’lebih baik kamu istirahat. Kamu kan bisa melanjutkannya lain waktu.” Kataku dengan wajah memohon.
Kamu tersenyum.
“Ga’ Rin. Aku harus menyelesaikannya. Sebelum waktu itu tiba, aku sudah harus selesai menulis buku ini. Aku ga’mau impianku kandas Rin.”
“ Tapi keadaanmu masih lemah Vi.”
“Untuk itulah Rin, aku harus segera menyelesaikannya.”
******
Buku dengan judul “Izinkan kupersembahkan bintang untuk Ibu” itu kudekap dengan erat di samping tanah merah yang masih penuh dengan bunga-bunga segar. Aku seperti tak percaya jika kamu, pengarang buku yang tengah ku pegang ini, sekarang telah menjadi penghuni liang sempit di depanku. Penyakit leukemia yang kau derita akhirnya membawamu pergi selamanya bersama impian yang belum sepenuhnya kau wujudkan. Begitu cepat keberadaanmu di dunia ini sahabat. Bahkan engkau tak sempat untuk melihat karya pertamamu diterbitkan.
“Rin, taukah kamu mengapa aku begitu terobsesi menjadi seorang penulis. Itu semua karena aku meyakini bahwa dengan menulis kita bisa meninggalakan sesuatu yang bermakna bagi perkembangan peradaban selanjutnya. Ibarat sebuah bangunan dunia ini masih memerlukan perbaikan dan dengan menulislah kita bisa ikut berpartisipasi bagi pembangunan dunia. Aku ingin seperti Chapra, Rin.”
Kata-kata yang kau ucapkan sehari sebelum kau meninggal masih terus terngiang di telingaku. Ku berjanji impianmu akan tetap ada Vi. Aku akan melanjutkan impianmu, aku ga’akan membiarkan impianmu terkubur bersama jasad bekumu.
******
Tentang tulisan dan Mati


Aku akan mati dan aku pasti mati. Itu adalah fakta yang tak bisa terelakkan.
Satu bulan, satu minggu, besok, malam nanti,,, atau,,,,,,
Masya Allah, satu detik lagi.
Kematian!!!!
Akan membuat semua hilang.
Tenggelam…. Terkubur bersama beku yang mencekam. Tak ada lagi denting nada dunia yang menemani
Tak ada lagi celoteh yang menggunjing
Hhhh…..hhh semua akan hilang begitu saja.
Tak ada lagi tempatku…
Tak ada lagi yang mengenaliku
Tak ada lagi yang mengingatku ataukah mengenangku….
Kenangan akan semakin pudar dan masa lalu akan semakin tertinggal.
Ingin,,,,, kutuliskan bait-bait kehidupanku, merangkumnya dalam lembar singkat dan membiarkan angin menerbangkannya dengan berharap ada keikhlasan yang memunggutnya.
Ingin…. Kurangkaikan yang sempat tercecer menjadi untaian permata yang orang tak bosan mengaguminya…
Ingin,,,, kugali yang masih terpendam, mejadikannya tambang yang tak akan pernah habis meski semua datang mengambilnya.
Ingin,,,, ku buka yang masih tertutup sehingga mereka tak lagi terhalang oelh dinding-dinding yang menghalangi pandangan mereka.
Tuhan….. pada detik yang mana Engkau akan menghentikanku.
Masih cukupkah waktuku untuk mewujudkan impianku. Masih cukupkah waktuku untuk mengukir yang berharga bagi mereka….
Tuhan…… masih cukup banyakkah tinta yang tersedia untukku
Tuhan…… masih sampai kapankah.
Kuingin Tuhan,, jika tak lagi ada tempatku, izinkan ku tinggalkan tulisan yang akan tetap ada, meski jasadku tlah hancur bersama masa…..

Kututup catatan harian Vivi yang selalu kubaca ketika semangatku untuk menulis mengendur. Dia memang bukan Umar Chapra yang menawarkan solusi bagi system ekonomi saat ini, dia memang tak sehebat Umar Chapra dengan pemikiran-pemikirannya. Dia bukan Karl Marx, dia bukan pula Ibn Rusyd. Tapi dia lebih hebat dari mereka, karena dia mampu menuliskan masa depan yang tak pernah kuimpikan sebelumya. Dia mampu menuliskan kesuksesan dalam hidupku.
Melalui impiannya ku bangun impianku sebagai seorang penulis. Hingga akhirnya aku mampu menulis beberapa buku dan artikel yang akan aku tinggalkan untuk duniaku. Melalui semangatnya aku mampu menyemangati orang-orang di sekitarku untuk memberi sesuatu yang berharga bagi dunia ini.
Vivi memang belum sempat meninggalkan karya besar bagi dunianya, tapi dia mampu meninggalkan karya besar bagi duniaku dan dunia mereka.