Selasa, 20 Mei 2008

AYO,,,, BANGKIT!!!

Hari ini, genap 100 tahun kebangkitan nasional. Setiap tahun pada tanggal 20 Mei selalu diadakan peringatan HARKITNAS. Namun, yang menjadi kekhawatiran jangan-jangan peringatan itu hanya dijadikan ritual rutin yang menutup substansi dari kata bangkit yang merupakan unsur pokok dari HARKITNAS.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa para pahlawannya. Pernyataan itu perlu kita tinjau ulang guna mengevaluasi sejauh mana penghargaan yang kita berikan terhadap para pahlawan. Karena dikhawatirkan ada makna yang belum mampu dihayati oleh bangsa Indonesia terhadap momen-momen sejarah yang di dalamnya melibatkan para pahlawan bangsa. Salah satunya adalah momen HARKITNAS yang telah mengilhami kemerdekaan bagi Indonesia.

Perjalanan panjang perjuangan bangsa Indonesia tidak cukup berhenti pada pencapaian kemerdekaan semata. Masih banyak rintangan yang harus kita singkirkan untuk mencapai kemerdekaan yang utuh. Karena kemerdekaan bukan hanya terletak pada keberhasilan kita mengusir penjajah dari tanah air. Kemerdekaan ekonomi, politik dan budaya adlah tujuan utama dari kemerdekaan 63 tahun silam.

"sesungguhnya Alloh tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga mereka merubah nasibnya sendiri."

Sudah jelas peringatan Alloh yang disampaikan melalui firman Nya dalam Q.S. Ar-Ra'du ayat 11 tersebut. Ayat itu seharusnya sudah cukup menjadi pendobrak bagi jiwa muda yang selalu menginginkan perubahan ke arah kebaikan. Bangsa indonesia tetap akan menjadi negara yang tertinggal jika tidak ada usaha bersama dari kita untuk merubahnya.

Dalam peringatan kali ini, mari bersama-sama kita perbarui penghayatan kita tentangHARKITNAS. Sudah saatnya kita bangkit dari keterlenaan kenikmatan yang ditawarkan oleh negara-negara maju sebagai wujud abstrak dari penjajahan yang mereka lakukan. Bangkit dair keterpurukan tidak hanya untuk 100 tahun silam, tapi kebangkitan harus selalu ada dalam setiap ruang dan waktu yang berbeda.

Kita harus membuka mata bahwa keterpurukan bangsa kita saat ini lebih tragis dari seratus tahun silam. Karena keterpurukan yang sekarang ini lebih tidak terasa, namun efeknya lebih membahayakan bagi ketahanan nasional indonesia. Kekurangsadaran akan keterpurukan menjadikan kita lebih sulit untuk bangkit. Akan tetapi,yang perlu diyakini adalah sulit bukan berarti tidak bisa.

Mari kawan, kita bangkit bersama unutk meningkatkan ketahanan nasional bangsa kita.

BBM NAIK, INGKAR JANJI PEMERINTAH

Tulisan ini muncul sebagai wujud dari kekecewaan penulis terhadap janji pemerintah berhubungan dengan rencana kenaikan BBM. Pemerintah telah berjanji tidak akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik paling tidak sampai 2009 nanti. Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro menegaskan, " pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM dan listrik dalam dua tahun ke depan," katanya. Namun nyatanya, baru di pertengahan 2008 rakyat sudah dibuat resah dengan adanya kenaikan BBM di tahun 2008 ini.

Ketika pemerintah sebagai pengayom rakyat sudah mulai mengingkari janjinya, siapa lagi yang akan dipercaya rakyat. Bukan hanya sekali rakyat dikecewakan, lalu di mana para anggota DPR yang katanya menjadi penyalur aspirasi rakyat bersembunyi di saat rakyat butuh menyampaikan aspirasi mereka. Apakah mereka tidak merasa risih mendengr keluhan-keluhan rakyat ataukah mereka memang sudah tuli sehingga tidak legi mampu mendengar. Mungkin telinga mereka sudah terlalu banyak tersumbat dengan berlembar-lembar amplop guna menyetujui kebijakan yang diosdorkan pemerintah.

Ironisnya, pemerintah menggunakan alasan yang penulis rasa kurang logis sebagai pembelaan terhadap pengingkaran janji yang telah diucapkannya sendiri. Pemerintah beralasan bahwa subsidi BBM selama ini telah salah sasaran. Dan melalui Wapres Jusuf Kalla, pemerintah mencela siapapun yang menentang kenaikan harga BBM sebagai penghalang rezeki rakyat miskin dan memihak orang-orang kaya. Pemerintah beralasan orang-orang kayalah yang lebih banyak menumpahkan bahan bakar minyak di jalan-jalan karena setiap dari mereka meilki kedarann pribadi. Akan tetapi, apakah kenaikan harga tersebut membuat orang-orang kaya enggan mengeluarjkan kendaraan pribadi mereka dari kandangnya, kenyataaan yang ada tidak seperi itu. Orang-orang kaya dengan kendaraan pribadinya tetap menjadi penguasa jalan, knalpot mobil mereka tetap mengepulan asap yang semakin menyesakkan.

Dengan uang yang mereka miliki mereka masih bisa membeli apapun yang mereka inginkan. Sementara bagaimanakah dengan kelangsungan hidup rakyat yang kebanyakan berada di zona kemiskinan? Sedangkan para orang kaya yang bereperut buncit terlalu pelit unutk berbagi dengan kaum alit yang semakin terjepit. Mungkin, sudah menjadi takdir bahwa yang kecil harus terkucil sebagai tumbal bagi mereka yang berkuasa.

KENAIKAN BBM, KESEJAHTERAAN RAKYAT YANG TERGADAI TANPA TEBUSAN

Kenaikan harga BBM di Indonesia merupakan imbas langsung dari kenaikan harga minyak dunia yang melambung tinggi di atas $100 US per barel. Ada banyak kacamata yang digunakan oleh para oknum dalam menyikapi kenaikan harga tersebut yang kesemuanya akan berhenti pada dua titik yang berlawanan yaitu, pro dan kontra. Dan kita perlu berhati-hati dalam melihat makro perekonomian Indonesia sehingga kita tidak terjebak dalam pemahaman buta yang mengombang-ambingkan kita dalam ketidakpastian penentuan sikap.

Penghematan sumber energi, pemberian subsidi langsung kepada rakyat miskin, perbaikan perekonomian Indonesia, sekilas alasan itu cukup logis jika dijadikan sebagai obat penenang di tengah kegusaran masyarakat akibat kenaikan harga BBM. Tapi, perlu ditilik ulang siapakah yang mempropagandakan alasan-alasan tersebut dan benarkah alasan-alasan tersebut bisa dibuktikan secara empirik? Tunggu dulu….bisa saja alasan-alasan itu muncul dari oknum-oknum tertentu yang merasa diuntungkan dengan adanya kebijakan kenaikan tarif BBM. Karena fakta-fakta yang ada telah menolak hipotesis di atas.

Kenaikan BBM telah mennjadi diskursi utama di berbagai kalangan. Meskipun kenaikan itu belum diresmikan, namun imbasnya telah meresahkan rakyat. Rakyat miskin, yang kata pemerintah menjadi sasaran pengalihan subsidi BBM malah merasakan keterjepitan hidup yang dialaminya makin parah. Lantas, apa namanya kalau klaim pemerintah itu bukan hanya sekedar topeng pemanis? Karena tentu saja seburuk apapun informasi yang digunakan dalam dunia bisnis akan tetap disampaikan sebagai informasi positif yang di make-up dengan berbagai alasan. Tapi, yang menjadi pertanyaan, apakah pemerintah indonesia memandang rakyat miskin hanya sekedar ladang bisnis bagi pejabat? Jika itu yang terjadi, tiada lagi manfaat kemerdekaan yang telah ditebus dengan darah dan nyawa oleh para pahlawan terdahulu.

Menurut penulis, kesejahteraaan rakyat hanya menjadi dalih pelarian yang digeret kesana kemari oleh oknum tertentu guna mencapai tujuan politik ekonominya. Kesejahteraan rakyat bak tameng yang kuat bagi pemerintah yang keberadaannya terkungkung dalam keabstrakan semata. Bagaimana tidak, dalam problema BBM sekarang inipun kesejahteraan rakyat diusung guna mendukung pelegalan kebijakan kenaikan tarif BBM. Padahal, itu merupakan kebohongan publik yang nyata. Bahkan, M. Kholid Syeirazi, seorang tenaga ahli di DPR RI, melalui artikelnya yang berjudul "Menaikkan Harga BBM = Pemerintah Tidak Memihak Rakyat Miskin !!", beliau mengatakan dengan tegas bahwa pemerintah bohong kalau negara lebih banyak menyubsidi orang kaya melalui BBM. Dengan gamblang beliau memaparkan bahwa pemerintah memang menyubsidi orang kaya, tapi bukan melalui BBM, melainkan melalui bunga obligasi rekapitulasi perbankan yang jumlahnya lebih dari 65 triliun dalam APBN P 2008.

APBN negara memang sedang mengalami defisit. Namun, apakah menaikkan tarif BBM merupakan cara yang tepat untuk menutup defisit tersebut? Jika kita kaji melalui pendekatan ilmu ekonomi, perekonomian makro akan stabil jika ada kestabilan dalam perekonomian mikro. Jika pemerintah benar-benar ingin memperbaiki keadaan perekonomian makro Indonesia, langkah yang harus diambil adalah memperkuat perekonomian mikronya, bukan malah membunuhnya.

BBM merupakan pangkal kehidupan ekonomi rakyat yang jika itu dicabut terancamlah kehidupan mereka, padahal rakyat merupakan penyangga kehidupan suatu negara. Industri yang menggunakan BBM pasti akan menaikkan harga jual produknya karena sudah masuk dalam teori bahwa produsen akan berbagi beban dengan konsumen mereka. Imbas kenaikan harga tidak begitu terasa bagi mereka yang berduit lalu bagaimankah dengan nasib kaum alit. Haruskah mereka mengencangkan lagi ikat pinggang mereka, sementara nafas mereka sudah tersengal dalam perut yang kempis.

Mengutip pernyataan Karsiyo (69), seorang pedagang kelapa muda (kelamud) di Jl. Raya Thamrin Semarang, pada lembar KR edisi 15 Mei 2008 lalu saat diwawancara KR mengenai kenaikan tarif BBM, dengan ketus dia menjawab, "kelamud iki ora iso mlaku dhewe menyang kutho." Dari penggalan wawancara itu tentunya kita bisa merasakan betapa kecewanya beliau terhadap kebijakan tarif BBM. Apakah pemerintah tidak cukup tertusuk dengan pernyataan itu yang menyiratkan betapa berartinya BBM bagi mereka. Selain itu, pada lembar yang sama seorang sopir angkot di Semarang mengeluhkan semakin sulitnya dia mendapatkan penumpang karena dia meningkatkan tarif 25 % lebih tinggi dari sebelumnya guna mengimbangi kenaikan BBM sebentar lagi.

Kesejahteraan seperti itukah yang dimaksud? Kesejahteraan menjadi korban dari ketakutan pemerintah dalam melawan para kreditor yang menjadi drakula penghisap darah rakyat dan para mafia minyak tanah yang menggerogoti uang rakyat. Pemerintahan Indonesia sekarang ini tak ubahnya sedang berada di atas bidak catur yang menempatkan rakyat sebagai pion yang setiap saat harus siap "berkorban" untuk melindungi rajanya. Pemerintah tak lebih dari tikus pengecut yang bersembunyi di balik kekuasannya yang mereka hanya berani memanfaatkan kekuasaan tersebut untuk melawan rakyatnya sendiri. Padahal, kalau mereka berani mereka bisa melakukan renegoisasi utang luar negeri untuk menyehatkan kembali APBN yang sedang berdarah-darah sebagaimana usulan M. Khalid Syeirazi dalam artikelnya. Akan tetapi, ternyata pemerintah tak punya keberanian unutk melakukannya dan mereka malah merencanakan penambahan utang baru sebesar 48 triliun rupiah dan penerbitan SUN, obligasi, dan sebagainya sebesar 117 triliun rupiah dalam APBN 2008.

20 Mei 2008

Senin, 19 Mei 2008

HUBUNGAN POLITIK DAN PENDIDIKAN

BAB I
HUBUNGAN POLITIK DAN PENDIDIKAN

Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negara. Keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara.
Menurut Abernethy dan Coombe (1965: 287), hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik terjadi melalui tiga aspek, yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran (unemployment), dan peranan politik kaum cendekia (the political role of the intelligentsia).
Hubungan kekuasaan antar berbagai kelompok masyarakat banyak dipengaruhi oleh kesempatan belajar dan intensitas respon mereka terhadap pendidikan.
Bertahan atau tidaknya sistem pendidikan tunggal dlam masyarakat pluralis tergantung pada dua hal, yakni sistem tersebut memberi kesempatan yang sama pada semua kelompok masyarakat dan generasi muda mengalami bahwa belajar bersama dapat mencairkan perbedaan-perbedaan sosial mereka (Abernethy dan Coombe, 1965:290).
Pendidikan dan dunia kerja memiliki hubungan yang sangat kompleks. Keberhasilan pendidikan yang tidak diimbangi ketersediaan lapangan kerja akan menimbulkan pengangguran.
Hubungan antara politik dan pendidikan terwujud dalam berbagai bentuk yang berbeda. Dalam masyarakat modern, pendidikan adalah komoditi politik yang sangat penting. Sebagai komoditi politik, pendidikan bersifat politis yang dikontrol oleh pemerintah dan mempengaruhi kredibilitas pemerintah, sehingga pendidikan sering “dipaksa” menyesuaikan diri dengan pola-pola administratif umum dan norma-norma yang berlaku.
Jika politik dipahami sebagai “politik kekuatan, kekuasaan, dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi sumber daya dan nilai-nilai sosial” (Herman, 1974: 9). Maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah sebuah bisnis politik.
Akan tetapi, tidak semua orang mengakui dan mendukung realitas kuatnya hubungan atau keterkaitan antara politik dan pendidikan. Roesco Martin, seorang ilmuwan politik memandang bahwa infiltrasi politik dalam dunia pendidikan adalah sesuatu yang berbahaya.
Ide tentang non-political school telah muncul di Amerika Serikat sejak tahun 70-an. Dan ide tersebut muncul juga di Australia, karena bedanya berbagai faktor.
Namun demikian, Harman (1974: 5) berpendapat bahwa pendidikan dan politik merupakan dua hal yang sama sekali terpisah, tidak mengandung kebenaran, karena politik dan pendidikan saling terkait dan saling mempengaruhi. Keduanya merupakan aktifitas mendasar dalam semua masyarakat manusia.
Pendidikan menyangkut proses transmisi ilmu pengetahuan dan budaya, serta perkembangan ketrampilan dan pelatihan untuk tenaga kerja, dan politik berkenaan dengan praktik kekuasaan, pengaruh, dan otoritas, dan berkenaan dengan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi nilai-nilai dan sumber daya.

Hambatan Ke Depan
Politisasi terhadap pendidikan saat ini sudah semakin meningkat. Kita boleh saja berpikir bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dan politik. Namun, kita juga harus melihat realitas yang ada. Untuk dapat memahami berbagai persoalan pendidikan yang ada di tengah masyarakat diperlukan pengetahuan tentang aspek-aspek dan konteks politik dari persoalan-persoalan kependidikan tersebut.

Perkembangan Di Indonesia
Di Indonesia, kepedulian terhadap hubungan pendidikan dan politik sudah mulai berkembang dalam wacana publik, walaupun belum menjadi satu bidang kajian akademik.
Dalam dua dekade terakhir, memasuki abad ke-21 dan pemberlakuan otonomi daerah, lingkungan politik pendidikan di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan penting yang ditandai tiga kecenderungan utama. Pertama, terjadinya perubahan peranan pemerintah pusat dan darah dalam kebijakan pendidikan. Kedua, semakin terfragmentasinya pendidikan. Ketiga, muncul kembalinya kepentingan-kepentingan non-kependidikan.

BAB II
FUNGSI POLITIK INSTITUSI PENDIDIKAN

Selain saling mempengaruhi, terdapat juga hubungan fungsional antara pendidikan dan politik.

Institusi Pendidikan Sebagai Alat Kekuasaan?
Berbagai aspek pembelajaran sering kali diarahkan pada kepentingan politik tertentu, sehingga institusi pendidikan dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki.
Peluang untuk mengarahkan berbagai unsur kependidikan pada kebutuhan politik tertentu sangat besar. Stabilitas atau transformasi politik banyak ditentukan oleh faktor pendidikan.

Sosialisasi Politik atau Politisasi
Sistem pendidikan turut serta mengembangkan dan mentransmisi berbagai orientasi politik. Menurut Easton (1957: 311), salah satu prasyarat fundamental bertahannya sistem politik adalah apabila orang-orang yang terlibat dalam sistem politik adalah apabila orang-orang yang terlibat dalam sistem politik tersebut berhasil mentransfer ilmu pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap yang mereka kehendaki. Dan bagian paling relevan dari proses conditioning ini adalah politisasi.
Politisasi diperlukan, baik untuk mempertahankan maupun untuk menggerogoti kekuasaan. Politisasi bisa menumbuhkan keyakinan akan kemampuan politik (political efficacy) di kalangan masyarakat, yaitu “suatu gambaran bahwa seseorang menilai dirinya dapat mempengaruhi proses keputusan politik pemerintah”. (Massialas, 1969: 157).

Orientasi Dasar Politik
Menurut Easton (1957: 311-312), orientasi dasar politik (basic political orientation), mencakup tiga elemen utama. Pertama, political objects atau perceived images. Kedua, values atau desired images. Ketiga, political attitude.
Proses pembentukan dan transmisi orientasi dasar politik bisa ditanamkan melalui institusi-institusi pendidikan. Pendidikan formal sangat mempengaruhi proses rekruitmen politik.

Civic Education
Studi-studi politik pendidikan dapat diarahkan pada problem areas yang cukup luas. Bagaimana transmisi berbagai jenis orientasi secara signifikan berhubungan dengan karakteristik sosio-ekonomi, pandangan politik, etnisitas, agama, dan sejenisnya? Apakah terjadi disparitas antara perceived image dan desired image dalam pikiran siswa? Dan lain-lain.
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, membantu para ilmuwan politik memahami secara konkret proses yang dilakukan oleh pendidikan dalam mempengaruhi integrasi sistem politik. Oleh karena itu, pendidikan kewarganegaraan (civic education) perlu dicantumkan dalam kurikulum pendidikan di berbagai negara.

BAB IV
PROSPEK KAJIAN POLITIK PENDIDIKAN

Sebagai suatu bidang kajian yang relatif baru, kelayakan politik pendidikan (the politics of education) banyak dipertanyakan, baik oleh para sarjana ilmu politik maupun oleh para sarjana ilmu pendidikan. Sehingga memperlambat pengakuan terhadap politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian tersendiri.

Wacana Politik Pendidikan
Politik pendidikan (the politics of education) harus dibedakan dengan politik kependidikan (educational politics). Jika politik pendidikan membicarakan aspek-aspek politik dari pendidikan, politik kependidikan adalah upaya-upaya (sadar dan terorganisasi) untuk mempengaruhi input, proses, dan output pendidikan. (Archer, 1985: 39).
Dalam praktiknya, tandas Archer (1985: 42), educational politics terimplementasi dalam tiga jenis negosiasi yang berbeda-beda. Jenis pertama, adalah inisiasi internal. Jenis kedua adalah inisiasi eksternal. Jenis ketiga adalah manipulasi politik.
Menurut Dale (1989: 42), education politics adalah studi terhadap efektifitas sistem pendidikan dan bentuk-bentuk pengelolaan pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan yang dibebankan pada mereka. Yang mana studi ini memiliki tiga ciri utama, yaitu :
1) Mempertanyakan proses pembuatan keputusan
2) Mereduksi politik menjadi administrasi
3) Terfokus pada perangkat kerja.
Adapun the politics of education adalah relasi antara produksi tujuan-tujuan dan bentuk pencapaiannya.



Perkembangan Kajian Politik Pendidikan
Menurut catatan Mitchell, aplikasi analisis politik terhadap studi kependidikan sepenuhnya terabaikan sebelum tahun 1950-an. Dan perkembangan politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian tersendiri dipicu oleh artikel yang ditulis oleh Thomas H. Eliot yang berjudul “Toward an Understanding of Public School Politics” yang dimuat di American Political Science Review, Volume 53, Nomor 4, Desember 1959, halaman 1032-1052.
Sepuluh tahun kemudian, 1969, American Educational Research Association (AERA) berhasil membentuk divisi khusus para peneliti politik pendidikan. Krist dan Mosher (1969: 623) yakin bahwa perkembangan tersebut bertitik tolak dari suatu kesadaran bahwa isu-isu dan problematika pendidikan membutuhkan model analisis sains-kebijakan (policy-science).
Kajian policy-science menyajikan sesuatu yang berbeda karena kajian ini memperhatikan tiga isu:
1. Efek alokatif dari saksi-saksi politik “siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana.
2. Situasi educational-policy system yang sedang berjalan.
3. Efektifitas sistem yang ada dalam mencapai tujuan yang diharapkan dari kebijakan.

Minat Kajian Politik Pendidikan
Perhatian para ilmuwan pendidikan terhadap aspek-aspek politik pendidikan dan para ilmuwan politik terhadap persoalan-persoalan kependidikan berkembang sangat lamban. Dalam masalah itu, Easton (1957: 304-306) memberi dua alasan yaitu :
1) adanya peningkatan spesialisasi disiplin keilmuan dan penelitian dalam ilmu-ilmu politik.
2) karena hingga akhir tahun 1950-an para ilmuwan politik terlalu banyak memperhatikan persoalan-persoalan kekuasaan atau teori politik normatif.
Menurut Harman (1974: 14-15), tidak tertariknya para ilmuwan politik pada persoalan pendidikan disebabkan empat hal yaitu :
1) mereka terlalu banyak terlibat dengan studi tentang institusi-institusi formal pemerintah dan politik nasional dan internasional.
2) status profesional dan intelektual pendidikan yang rendah.
3) kurangnya perbedaan yang serius tentang kebijakan pendidikan.
4) adanya kepercayaan bahwa pendidikan harus dikeluarkan dari politik.
Oleh Mitchell, perhatian terhadap politik pendidikan dilihat sebagai dampak langsung dari perkembangan kehidupan sosial masyarakat. Ia mencatat perkembangan kehidupan sosial yang menjauhkan perhatian para sarjana pada dimensi politik pendidikan publik, yaitu reformasi gerakan politik urban, diadopsinya filsafat progresif oleh para pendidik berpengaruh, dan berkembangnya scientific management.
Memasuki paruh pertama abad dua puluh, isu-isu utama dalam politik pendidikan adalah the 3 Rs: Religion, Race and Rural/Urban conflicts tentang keuangan sekolah (Lannaconne dan Ciston; dalam Mitchell: 155). Pada awal abad dua puluh, Mitchell mencatat, politik pendidikan dikontrol oleh tujuh keputusan penting, yaitu:
1) Produktivitas ekonomi atau sosialisasi civic;
2) Otoritas sentralistik atau otonomi lokal?;
3) Sekolah sebagai budaya atau sebagai instrumen reformasi?;
4) Dikendalikan oleh birokrasi atau oleh komunitas profesional?;
5) Pilihan swasta atau kepentingan publik?;
6) Hak milik atau identitas budaya?; dan
7) Teknologi sebagai problem atau sebagai solusi?
Mulai awal 1960-an, minat para ilmuwan politik dan mahasiswa pendidikan untuk mengkaji politik pendidikan meluas. Memasuki 1980-an, berdasarkan catatan Harman (1974) penelitian tentang berbagai aspek politik pendidikan dilaksanakan di Jurusan Ilmu Politik dan Ilmu Pendidikan di banyak Universitas dan pusat penelitian di seluruh dunia.
Adanya kecenderungan terus menerus dalam spesialiasasi riset serta tumbuhnya kesadaran dalam ilmu-ilmu sosial dan dalam ilmu pendidikan tentang keterkaitan antara institusi-institusi dan proses-proses sosial, menarik minat sejumlah sarjana ilmu politik untuk meneliti pendidikan. Selain itu, mereka juga berkeinginan keras untuk terlibat dalam proyek-proyek yang memiliki aplikasi langsung dan praktis untuk perbaikan masyarakat.

Fokus dan Manfaat Kajian
Tugas utama kajian politik pendidikan, menurut Easton (1957:305) adalah mengungkapkan cara-cara yang digunakan oleh kelompok-kelompok kependidikan dalam upaya mereka untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan mereka dan untuk memaksimalkan alokasi dana dari pemerintah untuk mereka.
Menurut Harman (1974: 1), studi politik pendidikan dapat meningkatkan pemahaman kita tentang kehidupan politik, tentang berbagai proses dan lembaga pendidikan, dan tentang interaksi antara pendidikan dan politik dalam masyarakat yang berbeda-beda.

Tantangan Ke Depan
Hambatan-hambatan baru selalu muncul dalam perkembangan politik pendidikan. Hambatan-hambatan baru tersebut menurut Harman (1980: 4) meliputi:
1. The Problem of Meanings
2. Kurang Perspektif
3. Keraguan Tentang Investigasi Sistematik
4. Rasa Ketidakberdayaan Profesional





Prospek di Indonesia
Pengalaman bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan memperlihatkan betapa penting arti pendidikan bagi bangunan politik dan sebaliknya, betapa penting arti politik bagi perkembangan pendidikan.
Untuk itu, perspektif masyarakat tentang pendidikan perlu diperluas, dari hanya terbatas pada lingkup ruang kelas ke lingkup lingkungan sosial politik. Dan pada konteks ini kita pantas optimis bahwa pada masa-masa mendatang, kajian-kajian politik pendidikan akan semakin berkembang pesat.

Sumber: Politik Pendidikan (Dinamika Hubungi Antara Kepentingan Kekuaaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan), Bab 1, 2, dan 4, M. Sirozi, Ph.D. Rajawali Press, Jakarta, 2005.








Spectrum Ancaman Ketahanan Nasional

Ketahanan nasional adalah kondisi dinamis suatu bangsa yang meliputi segenap kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan, untuk menjamin identitas, integritas, dan kelangsungan hidup bangsa dan Negara serta perjuangan mencapai tujuan nasional.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ada tiga spectrum yang menjadi ancaman bagi ketahanan nasional, yaitu: identitas, integritas, dan kelangsungan hidup bangsa dan Negara.
· Identitas
Identitas adalah ciri khas suatu bangsa atau Negara dilihat dari keseluruhan (holistic). Negara dilihat dalam pengertian sebagai suatu organisasi masyarakat yang dibatasi oleh wilayah, penduduk, sejarah, pemerintahan dan tujuan nasional serta dengan peran internasionalnya.
Identitas bangsa Indonesia terealisasi dalam berbagai bentuk yang diaplikasikan oleh setiap penduduknya. Secara kodrati Indonesia telah lahir sebagai Negara bangsa. Sehingga banyak identitas bangsa yang menjadi unsure dasar pembentuk bangsa Indonesia. Diantara identitas yang dimiliki bangsa-bangsa tersebut memuat beragam agama, bahasa, suku, kebudayaan, dan adat istiadat. Keberagaman identitas tersebut disatukan ke dalam identitas tunggal yaitu Pancasila.
· Integritas
Integritas adalah kesatuan menyeluruh dalam kehidupan nasional suatu bangsa baik unsure social maupun alamiah, baik yang bersifat potensial maupun fungsional.
Negara Indonesia terbentuk karena adanya integrasi dari berbagai bangsa. Komunikasi dan interaksi suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia menghasilkan aspirasi untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa. Dan wujud integrasi terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia adalah Proklamasi Kemerdekaan yang dilaksanakan pada 17 Agustus 1945.
· Kelangsungan hidup bangsa
Kelangsungan hidup bangsa adalah kemampuan suatu bangsa mempertahakan keberlangsungan hidupnya sebagai bangsa yang terintegrasi. Kelangsungan hidup suatu bangsa akan terjaga selama dia masih bisa mempertahankan identitas dan integritasnya sebagai suatu bangsa.

Di bawah ini terdapat factor-faktor yang menjadi pendukung terhadap identitas, integritas, dan kelangsungan hidup bangsa :
- keanekaragaman budaya
- kesadaran bangsa Indonesia bahwa untuk mewujudkan hakikat kodratnya sebagai makhluk individu dan social harus melakukan suatu kontrak untuk menyepakati suatu integrasi bersama
- keinginan dan semangat untuk hidup dan meraih cita-cita bersama

Keberadaan ketiga spectrum tersebut berbanding lurus dengan ketahanan nasional suatu bangsa. Melemahnya ketahanan nasional akan melemahkan bahkan meruntuhkan ketiga spectrum tersebut. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai identitas pokok bangsa Indonesia semakin tergusur dengan nilai-nilai yang ditiupkan budaya barat secara eksplisit maupun implicit. Dan sebagai akibatnya integritas bangsa semakin memudar dan terancam perpecahan. Akhirnya kelangsungan hidup bangsa semakin sulit untuk dipertahankan.
Di tengah kondisi kritis seperti ini, pembenahan terhadap ketahanan nasional akan menjadi obat yang manjur dalam sebuah proses penyembuhan bagi bangsa Indonesia.

Hatiku selembar daun

Hatiku selembar daun
Yang melayang jatuh di rumput
Sebentar,
Sejenak aku ingin terbang
Di sini
Sesaat adalah abadi,
Sebelum kau sapu tamanmu
Setiap pagi

Karya: Supardi Joko Sarmono



Puisi di atas adalah puisi favoritku. Sederhana, singkat tapi penuh makna.
Resapi dan rasakan betapa dalam makna yang terkandung di dalamnya. Ada air mata yang tak terasa menetes, ketika ku mencoba mencerna setiap kata yang menjadi unsure pembentuk puisi tersebut.
“Hatiku selembar daun” demikianlah aku dan juga manusia-manusia yang ada di bumi ini, nyawa kita tak lebih ringan dari selembar daun yang setiap saat bisa luruh tertiup angin.
Daun yang hijau bukan berarti dia akan berada lebih lama di atas pohon. Bisa saja dia akan lebih dulu menghilang jatuh, ataukah meranggas termakan ulat. Begitu juga kita. Kehidupan dan kematian adalah rahasia Rabb kita.

“Sejenak aku ingin terbang” ya…ch itulah yang kurasakan. Akupun ingin terbang kawan,, menjelajahi dunia ini mencari dan mencari sebanyak mungkin yang ingin kucari.
Sebentar kawan,, hanya sebentar waktu yang ada. Sebentar, jika masih tersisa.

“Sesaat adalah abadi”, waktu yang sebentar adalah abadi jika aku berhasil menggapai apa yang menjadi mimpi. Sebelum aku pergi,, mungkinkah aku abadi?
Kasih sayang kawan,,, yang kurasa masih tertinggal menjadi kekuatan yang semakin kikis.
Kasih sayang orang-orang di sekitar ku yang berusaha merengkuh jiwa rapuhku.
Lalu apa,,,, yang akan menjadikanku tertinggal dalam kehidupan mereka, meski waktu tlah membawaku pergi.

Rabu, 14 Mei 2008

KELEBIHAN PERADABAN BARAT

Dalam artikel singkatnya, Edwin A. Locke membahas sesuatu yang menarik mengenai budaya dengan tidak hanya membatasi pada keragaman budaya dalam lingkup Negara atau nasional. Akan tetapi, membahas kebudayaan dalam lingkup internasional yang memiliki cakupan bahasan lebih luas dibandingkan dengan budaya yang bersifat nasional. Ada dua kelompok besar peradaban di dunia ini yaitu, peradaban Barat dan peradaban Timur yang mana masing-masing dari keduanya memilki ciri khas yang menjadi pembeda di antara keduanya.

Untuk menghindari terjadinya perselisihan di antara dua kubu peradaban haruslah ditanamkan konsep multikulturalisme yang menyatakan bahwa semua budaya memiliki kedudukan yang sama. Tidak ada yang lebih benar dan lebih berkuasa dari yang lain. Jika pemahaman tentang konsep multikulturalisme tersebut telah benar-benar dimengerti tentu akan menjadi sangat tidak adil jika dikatakan bahwa peradaban barat memiliki kelebihan dibanding peradaban timur. Menurut saya, pernyataan itu memang tidak bisa dikatakan salah secara mutlak jika saja kebudayaan hanya memiliki arti spesifik yang terletak pada keintelektualan. Akan tetapi, kebudayaan merupakan hasil dari semua cipta, rasa dan karsa manusia yang tidak hanya berhenti pada ketinggian intelektual.

Memang, kita semua mengakui bahwa orang-orang barat kebanyakan memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi daripada orang-orang timur. Namun, besar kemungkinan mereka memiliki akhlak atau moral yang jauh lebih rendah daripada orang-orang timur. Padahal, akhlak dalam berperilaku juga termasuk dalam konteks kebudayaan.

Saya setuju bahwa ada tiga aspek penting yang menjadikan suatu kebudayaan lebih bermakna. Karena, memang dengan adanya reason, individual right, dan science and technology, peradaban manusia akan lebih maju dan berkembang dari zaman sebelumnya. Namun, saya juga tidak setuju jika individual right yang dimaksud adalah kebebasan mutlak tanpa batas. Karena, biar bagaimanapun kebebasan yang kita miliki dibatasi oleh kebebasan orang lain. Dan jika kita tetap mempertahankan kemutlakan individual right yang akan terwujud bukanlah suatu kemajuan pada peradaban, akan tetapi yang akan timbul adalah kerusakan terhadap kebudayaan. Karena masing-masing dari individu akan mempertahankan hak-hak individunya dan akan hilanglah toleransi yang menjadi dasar dari multikulturalisme. Akan lebih baik jika individual right lebih difokuskan pada kebebasan kita dalam berpikir dan berkreasi dengan tidak melupakan kepentingan orang lain.

Jadi, kesimpulannya tidak ada kelebihan pada satu peradaban. Kelebihan dan kekurangan muncul tergantung dari siapa yang menilai.

INTERAKSI SOSIAL SEBAGAI FAKTOR UTAMA DALAM KEHIDUPAN SOSIAL

BAB I
PENDAHULUAN

Pengetahuan mengenai proses interaksi sosial tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang tidak penting. Karena dengan mengetahui proses interaksi sosial kita akan memperoleh gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama manusia. Selain itu, kita akan memperoleh pengertian mengenai segi yang dinamis dari masyarakat atau gerak masyarakat.
Kedinamisan yang terjadi dalam masyarakat merupakan akibat dari adanya hubungan antar warga baik secara perorangan maupun melalui kelompok sosial. Dan tak selamanya hubungan itu berjalan tanpa kendala. Hanya dengan interaksi yang baik dan benarlah akan tercipta suatu tatanan kehidupan sosial yang baik pula.
Perlu kita ketahui interaksi yang terjadi di masyarakat tak hanya bersifat positif . karena setiap interaksi mempunyai suatu derajat dinamika tertentu yang menyebabkan pola-pola perilaku yang berbeda, tergantung dari masing-masing situasi yang dihadapi. Bisa saja interaksi tersebut terjadi melalui persaingan, pertandingan, bahkan pertikaian dan lain sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Interaksi Sosial
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi sosial merupakan bentuk umum sekaligus dasar dari proses sosial. Kimball Young dan Raymond dalam bukunya yang berjudul Sociology and Social Life mengatakan bahwa “Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama.”
Interaksi sosial dimulai pada saat dua orang bertemu. Namun perlu diingat sekedar pertemuan badaniah orang-perorangan tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan baru akan terjadi apabila orang-orang perorangan atau kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara dan seterusnya.
Berlangsungnya proses interaksi sosial didasarkan pada berbagai faktor, antara lain, faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Dalam bukunya yang berjudul “Faktor-faktor Dasar Interaksi Sosial dan Kepatuhan Pada Hukum” Soerjono Soekamto menyebutkan bahwa faktor-faktor tersebut merupakan faktor-faktor minimal yang menjadi dasar bagi berlangsungnya proses interaksi sosial. Walaupun di dalam kenyataannya proses tadi memang sangat kompleks, sehingga kadang-kadang sulit mengadakan pembedaan tegas antara faktor-faktor tersebut.
Interaksi sosial tidak akan terjadi jika tidak ada interaksi dengan diri sendiri. Dan menurut Mead interaksi dengan diri sendiri itu ditandai dengan adanya proses berfikir. Dengan berfikir individu memilih yang mana di antara stimulus yang tertuju kepadanya itu yang akan ditanggapinya. Sehingga kita tidak secara langsung menanggapi stimulus, tetapi terlebih dahulu memilih dan kemudian memutuskan stimulus mana yang akan ditanggapi.
B. Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Sosial
Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu:
1. Adanya kontak sosial yang dapat berlangsung dalam 3 bentuk, sebagai berikut:
a. Antara orang-perorangan
Kontak sosial ini adalah apabila anak kecil mempelajari kebiasaan-kebiasaan dalam keluarganya. Proses demikian terjadi melalui sosialisasi, yaitu suatu proses dimana anggota masyarakat yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat dimana dia menjadi anggota.
b. Antara orang-perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya.
Kontak sosial ini misalnya adalah apabila seseorang merasakan bahwa tindakan-tindakannya berlawanan dengan norma-norma masyarakat atau apabila suatu partai politik memaksa anggota-anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan ideologi dan programnya.
c. Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya.
Umpamanya adalah dua partai politik mengadakan kerjasama untuk mengalahkan partai politik yang ketiga di dalam pemilihan umum.
2. Adanya komunikasi
Arti terpenting komunikasi adalah jika seseorang memberikan taksiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak gerik badan atau sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut dan orang yang bersangkutan memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain tersebut.
Dengan adanya komunikasi, sikap-sikap dan perasaan suatu kelompok manusia atau orang-perorangan dapat diketahui oleh kelompok-kelompok lain atau orang-orang lainnya. Tanpa adanya komunikasi kontak sosial tidak mempunyai arti apa-apa.
Dengan komunikasi memungkinkan terjadinya kerja sama. Akan tetapi, menurut Emory S. Bogardus, tidak selalu komunikasi menghasilkan kerjasama bahkan suatu pertikaian mungkin akan terjadi sebagai akibat salah paham atau karena masing-masing tidak mau mengalah.
C. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial
Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerjasama (corporation), persaingan (competition), akomodasi (accommodation), dan bahkan berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict).
Adapun pendapat dari tiga tokoh sosiologi berhubungan dengan bentuk-bentuk interaksi sosial adalah sebagai berikut:
1. Gillin dan Gillin, bentuk interaksi adalah:
a. Proses yang asosiatif (akomodasi, asimilasi, dan akulturasi).
b. Proses yang disasosiatif (persaingan, pertentangan).
2. Kimball Young, bentuk interaksi adalah:
a. Oposisi (persaingan dan pertentangan).
b. Kerjasama yang menghasilkan akomodasi.
c. Diferensiasi (tiap individu mempunyai hak dan kewajiban atas dasar perbedaan usia, seks, dan pekerjaan).
3. Tomatsu Shibutani, bentuk interaksi adalah:
a. Akomodasi dalam situasi rutin.
b. Ekspresi pertemuan dan anjuran.
c. Interaksi strategis dalam pertentangan.
d. Pengembangan perilaku massa.
1) Proses-proses Asosiatif
a) Kerjasama (Cooperation)
Ada lima bentuk kerjasama:
(1) Kerukunan yang mencakup gotong royong dan tolong menolong.
(2) Bargaining: pelaksanaan perjanjian.
(3) Kooptasi: proses penerimaan unsur-unsur baru untuk menghindari goncangan stabilitas organisasi.
(4) Koalisi: kombinasi dua organisasi atau lebih dengan tujuan sama.
(5) Joint Venture: kerjasama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu.
b) Akomodasi (Accomodation)
Menurut Gillin dan Gillin, akomodasi adalah suatu pengertian yang digunakan oleh para sosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama artinya dengan pengertian adaptasi yang dipergunakan oleh ahli-ahli biologi untuk menunjuk pada suatu proses dimana makhluk-makhluk hidup menyesuaikan dirinya dengan alam sekitarnya.
Akomodasi dipergunakan dalam dua arti, sebagai berikut:
(1) Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti kenyataan adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara individu dan kelompok sehubungan dengan norma-norma sosial dan nila-nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat.
(2) Akomodasi yang menunjuk pada suatu proses sebagai suatu proses akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan.
Bentuk-bentuk akomodasi:
a) Coercion (adanya paksaan)
b) Compromise
c) Arbitration
d) Mediation
e) Conciliation
f) Toleration
g) Stalemate
h) Adjudication
2) Proses Disosiatif
a) Persaingan (Competition)
Menurut Gillin dan Gillin persaingan dapat diartikan sebagai proses sosial. Dimana individu atau kelompok-kelompok manusia bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan.
Bentuk-bentuk persaingan:
(1) persaingan ekonomi
(2) persaingan kebudayaan
(3) persaingan untuk mencapai kedudukan dan peranan tertentu dalam masyarakat
(4) persaingan karena perbedaan ras
Fungsi-fungsi persaingan:
(1) untuk menyalurkan keinginan-keinginan yang bersifat kompetitif
(2) sebagai jalan di mana keinginan, kepentingan serta nilai-nilai yang pada suatu masa menjadi pusat perhatian tersalurkan dengan baik
(3) sebagai alat untuk mengadakan seleksi atas dasar seks dan seleksi sosial
(4) sebagai alat untuk menyaring warga golongan-golongan karya untuk mengadakan pembagian kerja
Hasil suatu persaingan:
(1) perubahan kepribadian seseorang
(2) kemajuan
(3) solidaritas kelompok
(4) disorganisasi
b) Kontravensi (Contravention)
Merupakan bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian kontraversi merupakan sikap mental yang tersembunyi terhadap orang-orang lain atau terhadap unsur-unsur kebudayaan golongan tertentu.
Bentuk-bentuk kontravensi:
(1) Perbuatan penolakan, perlawanan, dan lain-lain
(2) Menyangkal pernyataan orang lain dimuka umum
(3) Melakukan penghasutan
(4) Berkhianat
(5) Mengejutkan lawan

HUBUNGAN POLITIK DAN PENDIDIKAN

BAB I
HUBUNGAN POLITIK DAN PENDIDIKAN

Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negara. Keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara.
Menurut Abernethy dan Coombe (1965: 287), hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik terjadi melalui tiga aspek, yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran (unemployment), dan peranan politik kaum cendekia (the political role of the intelligentsia).
Hubungan kekuasaan antar berbagai kelompok masyarakat banyak dipengaruhi oleh kesempatan belajar dan intensitas respon mereka terhadap pendidikan.
Bertahan atau tidaknya sistem pendidikan tunggal dlam masyarakat pluralis tergantung pada dua hal, yakni sistem tersebut memberi kesempatan yang sama pada semua kelompok masyarakat dan generasi muda mengalami bahwa belajar bersama dapat mencairkan perbedaan-perbedaan sosial mereka (Abernethy dan Coombe, 1965:290).
Pendidikan dan dunia kerja memiliki hubungan yang sangat kompleks. Keberhasilan pendidikan yang tidak diimbangi ketersediaan lapangan kerja akan menimbulkan pengangguran.
Hubungan antara politik dan pendidikan terwujud dalam berbagai bentuk yang berbeda. Dalam masyarakat modern, pendidikan adalah komoditi politik yang sangat penting. Sebagai komoditi politik, pendidikan bersifat politis yang dikontrol oleh pemerintah dan mempengaruhi kredibilitas pemerintah, sehingga pendidikan sering “dipaksa” menyesuaikan diri dengan pola-pola administratif umum dan norma-norma yang berlaku.
Jika politik dipahami sebagai “politik kekuatan, kekuasaan, dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi sumber daya dan nilai-nilai sosial” (Herman, 1974: 9). Maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah sebuah bisnis politik.
Akan tetapi, tidak semua orang mengakui dan mendukung realitas kuatnya hubungan atau keterkaitan antara politik dan pendidikan. Roesco Martin, seorang ilmuwan politik memandang bahwa infiltrasi politik dalam dunia pendidikan adalah sesuatu yang berbahaya.
Ide tentang non-political school telah muncul di Amerika Serikat sejak tahun 70-an. Dan ide tersebut muncul juga di Australia, karena bedanya berbagai faktor.
Namun demikian, Harman (1974: 5) berpendapat bahwa pendidikan dan politik merupakan dua hal yang sama sekali terpisah, tidak mengandung kebenaran, karena politik dan pendidikan saling terkait dan saling mempengaruhi. Keduanya merupakan aktifitas mendasar dalam semua masyarakat manusia.
Pendidikan menyangkut proses transmisi ilmu pengetahuan dan budaya, serta perkembangan ketrampilan dan pelatihan untuk tenaga kerja, dan politik berkenaan dengan praktik kekuasaan, pengaruh, dan otoritas, dan berkenaan dengan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi nilai-nilai dan sumber daya.

Hambatan Ke Depan
Politisasi terhadap pendidikan saat ini sudah semakin meningkat. Kita boleh saja berpikir bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dan politik. Namun, kita juga harus melihat realitas yang ada. Untuk dapat memahami berbagai persoalan pendidikan yang ada di tengah masyarakat diperlukan pengetahuan tentang aspek-aspek dan konteks politik dari persoalan-persoalan kependidikan tersebut.

Perkembangan Di Indonesia
Di Indonesia, kepedulian terhadap hubungan pendidikan dan politik sudah mulai berkembang dalam wacana publik, walaupun belum menjadi satu bidang kajian akademik.
Dalam dua dekade terakhir, memasuki abad ke-21 dan pemberlakuan otonomi daerah, lingkungan politik pendidikan di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan penting yang ditandai tiga kecenderungan utama. Pertama, terjadinya perubahan peranan pemerintah pusat dan darah dalam kebijakan pendidikan. Kedua, semakin terfragmentasinya pendidikan. Ketiga, muncul kembalinya kepentingan-kepentingan non-kependidikan.

BAB II
FUNGSI POLITIK INSTITUSI PENDIDIKAN

Selain saling mempengaruhi, terdapat juga hubungan fungsional antara pendidikan dan politik.

Institusi Pendidikan Sebagai Alat Kekuasaan?
Berbagai aspek pembelajaran sering kali diarahkan pada kepentingan politik tertentu, sehingga institusi pendidikan dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki.
Peluang untuk mengarahkan berbagai unsur kependidikan pada kebutuhan politik tertentu sangat besar. Stabilitas atau transformasi politik banyak ditentukan oleh faktor pendidikan.

Sosialisasi Politik atau Politisasi
Sistem pendidikan turut serta mengembangkan dan mentransmisi berbagai orientasi politik. Menurut Easton (1957: 311), salah satu prasyarat fundamental bertahannya sistem politik adalah apabila orang-orang yang terlibat dalam sistem politik adalah apabila orang-orang yang terlibat dalam sistem politik tersebut berhasil mentransfer ilmu pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap yang mereka kehendaki. Dan bagian paling relevan dari proses conditioning ini adalah politisasi.
Politisasi diperlukan, baik untuk mempertahankan maupun untuk menggerogoti kekuasaan. Politisasi bisa menumbuhkan keyakinan akan kemampuan politik (political efficacy) di kalangan masyarakat, yaitu “suatu gambaran bahwa seseorang menilai dirinya dapat mempengaruhi proses keputusan politik pemerintah”. (Massialas, 1969: 157).

Orientasi Dasar Politik
Menurut Easton (1957: 311-312), orientasi dasar politik (basic political orientation), mencakup tiga elemen utama. Pertama, political objects atau perceived images. Kedua, values atau desired images. Ketiga, political attitude.
Proses pembentukan dan transmisi orientasi dasar politik bisa ditanamkan melalui institusi-institusi pendidikan. Pendidikan formal sangat mempengaruhi proses rekruitmen politik.

Civic Education
Studi-studi politik pendidikan dapat diarahkan pada problem areas yang cukup luas. Bagaimana transmisi berbagai jenis orientasi secara signifikan berhubungan dengan karakteristik sosio-ekonomi, pandangan politik, etnisitas, agama, dan sejenisnya? Apakah terjadi disparitas antara perceived image dan desired image dalam pikiran siswa? Dan lain-lain.
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, membantu para ilmuwan politik memahami secara konkret proses yang dilakukan oleh pendidikan dalam mempengaruhi integrasi sistem politik. Oleh karena itu, pendidikan kewarganegaraan (civic education) perlu dicantumkan dalam kurikulum pendidikan di berbagai negara.

BAB IV
PROSPEK KAJIAN POLITIK PENDIDIKAN

Sebagai suatu bidang kajian yang relatif baru, kelayakan politik pendidikan (the politics of education) banyak dipertanyakan, baik oleh para sarjana ilmu politik maupun oleh para sarjana ilmu pendidikan. Sehingga memperlambat pengakuan terhadap politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian tersendiri.

Wacana Politik Pendidikan
Politik pendidikan (the politics of education) harus dibedakan dengan politik kependidikan (educational politics). Jika politik pendidikan membicarakan aspek-aspek politik dari pendidikan, politik kependidikan adalah upaya-upaya (sadar dan terorganisasi) untuk mempengaruhi input, proses, dan output pendidikan. (Archer, 1985: 39).
Dalam praktiknya, tandas Archer (1985: 42), educational politics terimplementasi dalam tiga jenis negosiasi yang berbeda-beda. Jenis pertama, adalah inisiasi internal. Jenis kedua adalah inisiasi eksternal. Jenis ketiga adalah manipulasi politik.
Menurut Dale (1989: 42), education politics adalah studi terhadap efektifitas sistem pendidikan dan bentuk-bentuk pengelolaan pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan yang dibebankan pada mereka. Yang mana studi ini memiliki tiga ciri utama, yaitu :
1) Mempertanyakan proses pembuatan keputusan
2) Mereduksi politik menjadi administrasi
3) Terfokus pada perangkat kerja.
Adapun the politics of education adalah relasi antara produksi tujuan-tujuan dan bentuk pencapaiannya.



Perkembangan Kajian Politik Pendidikan
Menurut catatan Mitchell, aplikasi analisis politik terhadap studi kependidikan sepenuhnya terabaikan sebelum tahun 1950-an. Dan perkembangan politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian tersendiri dipicu oleh artikel yang ditulis oleh Thomas H. Eliot yang berjudul “Toward an Understanding of Public School Politics” yang dimuat di American Political Science Review, Volume 53, Nomor 4, Desember 1959, halaman 1032-1052.
Sepuluh tahun kemudian, 1969, American Educational Research Association (AERA) berhasil membentuk divisi khusus para peneliti politik pendidikan. Krist dan Mosher (1969: 623) yakin bahwa perkembangan tersebut bertitik tolak dari suatu kesadaran bahwa isu-isu dan problematika pendidikan membutuhkan model analisis sains-kebijakan (policy-science).
Kajian policy-science menyajikan sesuatu yang berbeda karena kajian ini memperhatikan tiga isu:
1. Efek alokatif dari saksi-saksi politik “siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana.
2. Situasi educational-policy system yang sedang berjalan.
3. Efektifitas sistem yang ada dalam mencapai tujuan yang diharapkan dari kebijakan.

Minat Kajian Politik Pendidikan
Perhatian para ilmuwan pendidikan terhadap aspek-aspek politik pendidikan dan para ilmuwan politik terhadap persoalan-persoalan kependidikan berkembang sangat lamban. Dalam masalah itu, Easton (1957: 304-306) memberi dua alasan yaitu :
1) adanya peningkatan spesialisasi disiplin keilmuan dan penelitian dalam ilmu-ilmu politik.
2) karena hingga akhir tahun 1950-an para ilmuwan politik terlalu banyak memperhatikan persoalan-persoalan kekuasaan atau teori politik normatif.
Menurut Harman (1974: 14-15), tidak tertariknya para ilmuwan politik pada persoalan pendidikan disebabkan empat hal yaitu :
1) mereka terlalu banyak terlibat dengan studi tentang institusi-institusi formal pemerintah dan politik nasional dan internasional.
2) status profesional dan intelektual pendidikan yang rendah.
3) kurangnya perbedaan yang serius tentang kebijakan pendidikan.
4) adanya kepercayaan bahwa pendidikan harus dikeluarkan dari politik.
Oleh Mitchell, perhatian terhadap politik pendidikan dilihat sebagai dampak langsung dari perkembangan kehidupan sosial masyarakat. Ia mencatat perkembangan kehidupan sosial yang menjauhkan perhatian para sarjana pada dimensi politik pendidikan publik, yaitu reformasi gerakan politik urban, diadopsinya filsafat progresif oleh para pendidik berpengaruh, dan berkembangnya scientific management.
Memasuki paruh pertama abad dua puluh, isu-isu utama dalam politik pendidikan adalah the 3 Rs: Religion, Race and Rural/Urban conflicts tentang keuangan sekolah (Lannaconne dan Ciston; dalam Mitchell: 155). Pada awal abad dua puluh, Mitchell mencatat, politik pendidikan dikontrol oleh tujuh keputusan penting, yaitu:
1) Produktivitas ekonomi atau sosialisasi civic;
2) Otoritas sentralistik atau otonomi lokal?;
3) Sekolah sebagai budaya atau sebagai instrumen reformasi?;
4) Dikendalikan oleh birokrasi atau oleh komunitas profesional?;
5) Pilihan swasta atau kepentingan publik?;
6) Hak milik atau identitas budaya?; dan
7) Teknologi sebagai problem atau sebagai solusi?
Mulai awal 1960-an, minat para ilmuwan politik dan mahasiswa pendidikan untuk mengkaji politik pendidikan meluas. Memasuki 1980-an, berdasarkan catatan Harman (1974) penelitian tentang berbagai aspek politik pendidikan dilaksanakan di Jurusan Ilmu Politik dan Ilmu Pendidikan di banyak Universitas dan pusat penelitian di seluruh dunia.
Adanya kecenderungan terus menerus dalam spesialiasasi riset serta tumbuhnya kesadaran dalam ilmu-ilmu sosial dan dalam ilmu pendidikan tentang keterkaitan antara institusi-institusi dan proses-proses sosial, menarik minat sejumlah sarjana ilmu politik untuk meneliti pendidikan. Selain itu, mereka juga berkeinginan keras untuk terlibat dalam proyek-proyek yang memiliki aplikasi langsung dan praktis untuk perbaikan masyarakat.

Fokus dan Manfaat Kajian
Tugas utama kajian politik pendidikan, menurut Easton (1957:305) adalah mengungkapkan cara-cara yang digunakan oleh kelompok-kelompok kependidikan dalam upaya mereka untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan mereka dan untuk memaksimalkan alokasi dana dari pemerintah untuk mereka.
Menurut Harman (1974: 1), studi politik pendidikan dapat meningkatkan pemahaman kita tentang kehidupan politik, tentang berbagai proses dan lembaga pendidikan, dan tentang interaksi antara pendidikan dan politik dalam masyarakat yang berbeda-beda.

Tantangan Ke Depan
Hambatan-hambatan baru selalu muncul dalam perkembangan politik pendidikan. Hambatan-hambatan baru tersebut menurut Harman (1980: 4) meliputi:
1. The Problem of Meanings
2. Kurang Perspektif
3. Keraguan Tentang Investigasi Sistematik
4. Rasa Ketidakberdayaan Profesional





Prospek di Indonesia
Pengalaman bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan memperlihatkan betapa penting arti pendidikan bagi bangunan politik dan sebaliknya, betapa penting arti politik bagi perkembangan pendidikan.
Untuk itu, perspektif masyarakat tentang pendidikan perlu diperluas, dari hanya terbatas pada lingkup ruang kelas ke lingkup lingkungan sosial politik. Dan pada konteks ini kita pantas optimis bahwa pada masa-masa mendatang, kajian-kajian politik pendidikan akan semakin berkembang pesat.

Sumber: Politik Pendidikan (Dinamika Hubungi Antara Kepentingan Kekuaaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan), Bab 1, 2, dan 4, M. Sirozi, Ph.D. Rajawali Press, Jakarta, 2005.




SEBELUM………

Kematian pasti datang,,
Itu adalah fakta yang tak akan pernah bisa terelakkan.
Satu bulan, satu minggu, besok, malam nanti,,, atau …. Masya Allah…. 1 detik lagi.
Rupanya,, begitu cepat siklus kehidupan mengitari aku. Mengambil seluruh sisa nafas,, hingga waktu benar-benar menghentikanku.

Kematian!! Akan membuat semua hilang , tenggelam….. terkubur bersama beku yang mencekam.
Tak ada lagi denting-denting nada dunia yang menemani, tak ada lagi celoteh yang menggunjing.
Hhh…..hhh semua hilang begitu saja.

Tak ada lagi tempatku…
Tak ada lagi yang mengenaliku
Tak ada lagi yang mengingatku atau sekedar mengenangku…

Kenangan akan semakin pudar dan masa lalu akan semakin tertinggal.
Ingin… aku tuliskan bait-bait kehidupanku sebagai sedikit kenangan yang kutinggalkan,
Merangkumnya dalam lembar singkat… dan membiarkan angin menerbangkannya dengan berharap ada keikhlasan yang memungut dan menyimpannya.

Ingin….
Kurangkaikan yang sempat tercecer
menjadi untaian permata yang orang tak bosan mengaguminya…..

Ingin ……
Kugali yang masih terpendam,
Menjadikannya tambang yang tak kan pernah habis meski semua datang mengambilnya...

Ingin…..
Kubuka yang masih tertutup,
Sehingga mereka tak lagi terhalang oleh dinding-dinding yang menghalangi pandangan mereka

Tuhan…..
Pada detik yang mana Engkau akan menghentikanku….
Masihkah cukup waktuku untuk mewujudkan impian.
Masih cukupkah waktuku untuk mengukir yang berharga bagi mereka….

Tuhan….
Masih cukup banyakkah tinta yang tersedia untukku….

Tuhan…..
Sampai kapankah….

Ku ingin Tuhan,,,, jika tak ada lagi tempatku….
Izinkan ku tinggalkan tulisan yang akan tetap ada, meski jasadku t’lah hancur bersama masa…

Allohhu Akbar… hanya dengan kuasa_Mu kubisa bertahan hingga detik ini.

Selasa, 13 Mei 2008

TEROR TELEPON MERAH

Tampaknya dunia memang semakin kacau. Naiknya harga kebutuhan pangan, BBM yang semakin langka, situasi politik yang belum stabil, trus sekarang ditambah dengan adanya “terror telepon merah”, duuh bikin kepala jadi makin pusyiii….iiing.

Sudah pada tahu kan, masyarakat sekarang ini lagi dihebohkan dengan adanya telepon dengan layer merah. Konon katanya, barang siapa yang mendapat telepon atau sms dengan layar ponsel berwarna merah, maka si penerima akan mati seketika itu juga. Tentu saja masyarakat yang kebanyakan kwalitas gizinya kurang terjamin begitu mudah terpengaruh kabar yang kevalidannya pun belum dapat dipastikan tersebut.

Telepon merah memiliki beberapa versi cerita. Di sebagian daerah meyakini bahwa telepon merah tersebut merupakan praktik ilmu hitam atau semacam santet ganas, ada juga yang meyakini bahwa telepon merah adalah sarana pencarian tumbal. Di daerah lain meyakini bahwa layar ponsel merah tersebut berasal dari infrared dengan radius tinggi yang barang siapa terkena radiasinya akan mengalami kematian. Alasan yang terakhir ini mungkin lebih masuk akal, tapi bukan berarti menjadi pembenaran atas adanya isu tersebut.

Terlepas dari kerasionalan penyebab telepon merah, kita dapat menyimpulkan bahwa telepon merah tersebut bukan informasi yang valid dan berkwalitas. Kesimpulan tersebut saya dasarkan pada teori kereliabilitasan dari informasi itu sendiri. Sebuah informasi dapat dikatakan berkwalitas ketika informasi tersebut memilki kereliabilitasan yang tinggi.

Apa yang dimaksud dengan reliabilitas? Reliabilitas adalah kesamaan informasi tersebut darimanapun sumbernya dan kapanpun waktunya informasi tersebut tetap dapat mempertahankan konsistensinya. Sedangkan telepon merah tersebut memuat informasi berbeda dari sumber yang berbeda. Padahal masih berada dalam lintas waktu yang sama.

Sebagai mahasiswa, kita jangan mau dibohongi mentah-mentah oleh isu-isu semacam itu. Jangan –jangan isu tersebut diciptakan untuk memecah atau mengalihkan konsentrasi masyarkat. Sehingga mereka terlupa akan masalah riil yang sedang dihadapi saat ini. Bisa saja kan isu ini akhirnya mencegah tuntutan “TUGU RAKYAT” yang akan segera dilaksanakan.

So,,kesimpulan akhirnya adalah hati-hati dengan apa yang kita dengar karena tak semua yang kita dengar berarti kebenaran.

Bill Gates

Sapa manis “smile” tuk teman-teman semua.
Da berita baru apa nie….
Tentunya sudah pada tahu kan kalau Bill Gates (boss Microsoft) telah berkunjung ke Indonesia hari Selasa yang lalu. Wah,, hebat banget ga’sih Indonesia menurut teman-teman, karena telah mendapat kunjungan dari orang yang berpengaruh bagi dunia. Ccck ccck ….. pasti pada berdecak kagum ya terhadap Bill Gates yang pernah menjadi orang terkaya sedunia. Hayo ngaku… pada pengen seperti Bill Gates khan..

Kalo aku memang pengen banget jadi orang pinter seperti dia. Apalagi selain pinter juga kaya… tapi,,,, jujur yach ga’ada rasa bangga di hatiku ketika Indonesia mendapat kunjungan darinya. Yang ada justru perasaan khawatir, jangan jangan……., jangan-jangan…. Bukannya su’udzon, tapi waspada ga’ ada salahnya khan. Indonesia khan mudah banget terkena bujuk rayu,,siapa tahu aja tiba-tiba Indonesia diculik secara sukarela… (hehehe ga’lucu bangets khan).

Kedatangan Bill Gates ke Indonesia tentu bukan hanya untuk tujuan wisata. Pasti ada misi tertentu yang diembannya. Dan ternyata memang benar, kunjungannya ke Indonesia adalah untuk membahas masalah H5N1. Dan hebatnya Indonesia mendapat sumbangan 1 juta computer yang digunakan untuk pendidikan dengan perhitungan 1 komputer untuk 1000 anak. Ternyata bill gates baik hati banget ya..

Eits!!! Jangan bersorak dulu.. siapa tahu ada udang di balik rempeyek (enak donk, buat lauk anak kos). Dalam dunia bisnis pasti semua dihitung dengan analisis loss-profit, ya khan dan yang pasti ga’ ada prinsip rugi yang akan diterapkan dalam bisnis. Pengorbanan yang diberikan harus lebih kecil dari keuntungan yang akan diterima, hal itu tentu sudah lekat dalam mind-set orang-orang bisnis. Atau bahkan dalam otak kita juga, setiap hari khan itu yang kita pelajari.

Lalu, apakah yang tersembunyi di balik bantuan tersebut….
Nah, itulah yang masih menjadi misteri… bagi teman-teman yang sudah bisa menemukan jawabannya segera kabari aku yach.

Sabtu, 10 Mei 2008

Globalisasi, kendaraan ekonomi negara penganjurnya

Globalisasi yang digembar-gemborkan oleh negara maju sebagai alat untuk memberantas kemiskinan dan membantu negara-negara maju, ternyata hanyalah slogan kosong belaka. Dengan getolnya negara-negara maju mempromosikan bahwa dengan menghilangkan hambatan-hambatan dalam perdagangan maka akan tercapailah kesetaraan ekonomi antara negara maju dengan negara berkembang.

Namun, apa yang terjadi sekarang ini sangat jauh dari apa yang pernah dikampanyekan oleh negara-negara maju. Karena ternyata globalisasi tak ubahnya kendaraan gratis, dengan negara-negara penganjur sebagai freeriders-nya. Sebuah laporan PBB (UNDP,1999) menyebutkan bahwa ketimpangan antara orang-orang kaya dengan orang-orang miskin baik dalam negara maupun antarnegara semakin meluas. Dan ironisnya, yang menjadi penyebab utama dari hal itu adalah sistem perdagangan dan keuangan global.

Merujuk pada peristiwa yang dialami oleh Macan-Macan Asia (Taiwan, Singapura, Malaysia, dan Korea Selatan) yang dulunya pernah mencapai perbaikan ekonomi justru dengan cara melakukan kebalikan dari perintah Bretton Woods, yaitu mengalihkan impor dengan mengembangkan kemampuan mengelola kebutuhan pokok secara internal dengan tidak berbasis pada ekspor. Namun, pada akhirnya mereka mengalami keterpurukan yang teramat memilukan (krisis keuangan Asia 1997-1998) ketika mereka tunduk pada tekanan-tekanan IMF dan Bank Dunia. Tentunya rujukan itu sudah dapat digunakan sebagai ”sinisme tingkat tinggi” jika kita masih menganggap bahwa globalisasi merupakan jalan keluar bagi negara miskin.
Jika kita mau mencermati, kebijakan-kebijakan yang disusun oleh Bretton Woods adalah dirancang untuk memberikan keuntungan kepada negara-negara industri kaya dan korporasi-korporasi global dengan tetap mengatasnamakan rakyat kecil sebagai sasaran kebijakan-kebijakan itu. Iya! Rakyat kecil memang menjadi sasaran, tapi sasaran yang dimaksud ternyata adalah sasaran empuk guna memenuhi ambisius keserakahan mereka. Sungguh, fakta yang menyedihkan.


Dengan membentuk instrumen yang bernama SAPs (Structural Adjustment Programs), IMF dan Bank Dunia semakin kuat mencengkeramkan kuku-kuku kekuasaannya terhadap negara-negara miskin. Ada berbagai persyaratan SAPs yang harus dipenuhi yang kesemuanya lebih pada pembantaian terhadap negara-negara berkembang.

Mengkritisi salah satu persayaratan SAPs yang menyebutkan bahwa harus ada pengurangan secara drastis terhadap berbagai pelayanan sosial dan aparat-aparat yang menjalankannya. Bagaimana hal itu bisa dikatakan sebagai sarana meningkatkan perekonomian negara berkembang? Kacamata seperti apa yang mereka gunakan, sungguh suatu pernyataan yang sulit diterima oleh rasio. Sementara di sisi lain, bantuan terhadap industri-industri kecil lokal dihapuskan. Lalu dengan cara apa negara-negara berkembang bisa mengejar negara maju. Dan dalam kebingungan tersebut bak dewa penolong negara-negara maju menawarkan bingkisan-bingkisan bantuan yang terkemas rapi yang ternyata tak lebih dari jeratan yang kita akan semakin menggelepar dalam jeratan tersebut.

Penghapusan pelayanan sosial tentu akan mempersulit rakyat dalam mendapatkan apa yang diperlukannya. Biaya-biaya kesehatan akan semakin mahal sehingga rakyat yang berada dalam zona ekonomi lemah tak sanggup menggapainya. Dan akhirnya mereka terkapar sebagai tumbal globalisasi. Biaya pendidikan yang semakin mahal memutus harapan kaum elit (ekonomi sulit) untuk mengenyam nikmatnya ilmu. Hal itu menjadikan negara berkembang memiliki kwalitas pendidikan yang rendah sehingga akan semakin mudah bagi negara-negara maju untuk melakukan pembodohan terhadap mereka.

Apa yang saya tulis ini belum ada sekuku hitam dari globalisasi yang keberadaannya semakin global dan kompleks. Namun, saya ingin menegaskan bahwa globalisasi bukanlah hal yang mengenakkan bagi kita. Globalisasi ibarat pil koplo bagi negara berkembang, yang ketika kita sudah mencobanya akan sulit untuk keluar dari jeratnya. Bagaimana keluar dari jerat globalisasi, marilah kita bersama-sama menjadikannya sebagai bahan renungan dan pendobrak jiwa untuk lebih giat dalam menuntut ilmu dan mengaplikasikannya dalam dunia nyata.

Singsingkan lengan baju, lawan globalisasi !!!

Selasa, 06 Mei 2008

Bangunan megah, mobil-mobil mewah yang terparkir dengan rapi, ruangan yang selalu ber-AC, lantai yang mengkilap, mahasiswa yang petentang petenteng menenteng laptop, serta dosen-dosen yang rapi berdasi, begitulah sekilas gambaran tentang FEB UGM fakultas kita tercinta. Begitu indah dan menyenangkan. sejauh mata memandang yang tampak adalah wajah-wajah ceria penuh gelak tawa para mahasiswa.

Timbul pertanyaan dalam benak saya, benarkah ini fakultas yang orang-orang di dalamnya belajar tentang ekonomi? benarkah di fakultas ini berisi orang-orang yang tahu bagaimana memanfaatkan sumberdaya alam dengan sebaik mungkin?

EKONOMI. kita semua pasti tahu apa yang dipelajari dalam ekonomi adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya yang terbatas guna memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas. dan kita tentu juga paham betul arti dari prinsip ekonomi yang menyebutkan bahwa kita harus bisa mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Lalu,, fakta yang disuguhkan dalam fakultas ini begitu berbeda dengan konsep yang telah diajarkannya.

Para penghuni Fakultas Ekonomi ternyata justru orang-orang yang tidak berjiwa ekonomis. Saya tak perlu menguraikannya dengan panjang lebar karena teman-teman tentu bisa merasakannya sendiri.

Teman,,jika kita mau melihat keluar,sungguh suatu pemandangan yang lucu dan memprihatinkan tengah terpampang. FEB yang begitu megah,, tapi begitu kita keluar kita langsung disambut sebuah tangan terulur yang meminta belas kasihan.

Begitulah sebenarnya realita kehidupan yang harus kita hadapi teman. Semoga FEB tidak melenakan kita, sehingga kita tidak peduli dengan realita ekonomi yang sedang terjadi.

kenalan yuk





Banyak teman, banyak rejeki. betul ga'. nah, dalam kesempatan kali ini aku mau memperlihatkan wajah sebagian kecil teman-teman aku. jadi, kalau sewaktu-waktu kalian bertemu dengan wajah-wajah yang mirip dengan di foto ini,, silahkan di sapa ya... mereka ramah-ramah kok. seperti aku gitcu...

Duu....h,, Jogja kok panas banget ya. Temen-temen ngerasa juga ga' sih kalo Jogja tu semakin panas. aku aja yang tinggal di Jogja belum ada 1 tahun ngerasa ada perubahan iklim yang begitu drastis lho....

Apa sich penyebabnya...
GLOBAl WARMING!! yups.. jawaban yang sangat tepat. gimana nich temen-temen.. kalo semakin hari semakin panas, tubuh kita bisa mateng kayak ikan bakar lho.....

Ohya,,pada tulisan aku yang lalu dah pernah kutulis cara-cara meminimalisir dampak global warming kan? lalu,, sudahkah teman-teman mempraktekkannya.. yach paling tidak salah satu ja kalo takut salah semua,,

Teman-teman yang kusayang,,gambar yang aku cantumkan pada blog ini indah sekali kan..? Tapi, pemandangan yang indah itu lama-kelamaan akan hilang kalau kita ga' mau peduli dengan alam kita ini. Sayang sekali,,,padahal anak cucu kita juga pengin menikmati pemandangan alam yang indah.

Yuks... kita bareng-bareng jaga alam ini.