Senin, 19 Mei 2008

HUBUNGAN POLITIK DAN PENDIDIKAN

BAB I
HUBUNGAN POLITIK DAN PENDIDIKAN

Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negara. Keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara.
Menurut Abernethy dan Coombe (1965: 287), hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik terjadi melalui tiga aspek, yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran (unemployment), dan peranan politik kaum cendekia (the political role of the intelligentsia).
Hubungan kekuasaan antar berbagai kelompok masyarakat banyak dipengaruhi oleh kesempatan belajar dan intensitas respon mereka terhadap pendidikan.
Bertahan atau tidaknya sistem pendidikan tunggal dlam masyarakat pluralis tergantung pada dua hal, yakni sistem tersebut memberi kesempatan yang sama pada semua kelompok masyarakat dan generasi muda mengalami bahwa belajar bersama dapat mencairkan perbedaan-perbedaan sosial mereka (Abernethy dan Coombe, 1965:290).
Pendidikan dan dunia kerja memiliki hubungan yang sangat kompleks. Keberhasilan pendidikan yang tidak diimbangi ketersediaan lapangan kerja akan menimbulkan pengangguran.
Hubungan antara politik dan pendidikan terwujud dalam berbagai bentuk yang berbeda. Dalam masyarakat modern, pendidikan adalah komoditi politik yang sangat penting. Sebagai komoditi politik, pendidikan bersifat politis yang dikontrol oleh pemerintah dan mempengaruhi kredibilitas pemerintah, sehingga pendidikan sering “dipaksa” menyesuaikan diri dengan pola-pola administratif umum dan norma-norma yang berlaku.
Jika politik dipahami sebagai “politik kekuatan, kekuasaan, dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi sumber daya dan nilai-nilai sosial” (Herman, 1974: 9). Maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah sebuah bisnis politik.
Akan tetapi, tidak semua orang mengakui dan mendukung realitas kuatnya hubungan atau keterkaitan antara politik dan pendidikan. Roesco Martin, seorang ilmuwan politik memandang bahwa infiltrasi politik dalam dunia pendidikan adalah sesuatu yang berbahaya.
Ide tentang non-political school telah muncul di Amerika Serikat sejak tahun 70-an. Dan ide tersebut muncul juga di Australia, karena bedanya berbagai faktor.
Namun demikian, Harman (1974: 5) berpendapat bahwa pendidikan dan politik merupakan dua hal yang sama sekali terpisah, tidak mengandung kebenaran, karena politik dan pendidikan saling terkait dan saling mempengaruhi. Keduanya merupakan aktifitas mendasar dalam semua masyarakat manusia.
Pendidikan menyangkut proses transmisi ilmu pengetahuan dan budaya, serta perkembangan ketrampilan dan pelatihan untuk tenaga kerja, dan politik berkenaan dengan praktik kekuasaan, pengaruh, dan otoritas, dan berkenaan dengan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi nilai-nilai dan sumber daya.

Hambatan Ke Depan
Politisasi terhadap pendidikan saat ini sudah semakin meningkat. Kita boleh saja berpikir bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dan politik. Namun, kita juga harus melihat realitas yang ada. Untuk dapat memahami berbagai persoalan pendidikan yang ada di tengah masyarakat diperlukan pengetahuan tentang aspek-aspek dan konteks politik dari persoalan-persoalan kependidikan tersebut.

Perkembangan Di Indonesia
Di Indonesia, kepedulian terhadap hubungan pendidikan dan politik sudah mulai berkembang dalam wacana publik, walaupun belum menjadi satu bidang kajian akademik.
Dalam dua dekade terakhir, memasuki abad ke-21 dan pemberlakuan otonomi daerah, lingkungan politik pendidikan di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan penting yang ditandai tiga kecenderungan utama. Pertama, terjadinya perubahan peranan pemerintah pusat dan darah dalam kebijakan pendidikan. Kedua, semakin terfragmentasinya pendidikan. Ketiga, muncul kembalinya kepentingan-kepentingan non-kependidikan.

BAB II
FUNGSI POLITIK INSTITUSI PENDIDIKAN

Selain saling mempengaruhi, terdapat juga hubungan fungsional antara pendidikan dan politik.

Institusi Pendidikan Sebagai Alat Kekuasaan?
Berbagai aspek pembelajaran sering kali diarahkan pada kepentingan politik tertentu, sehingga institusi pendidikan dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki.
Peluang untuk mengarahkan berbagai unsur kependidikan pada kebutuhan politik tertentu sangat besar. Stabilitas atau transformasi politik banyak ditentukan oleh faktor pendidikan.

Sosialisasi Politik atau Politisasi
Sistem pendidikan turut serta mengembangkan dan mentransmisi berbagai orientasi politik. Menurut Easton (1957: 311), salah satu prasyarat fundamental bertahannya sistem politik adalah apabila orang-orang yang terlibat dalam sistem politik adalah apabila orang-orang yang terlibat dalam sistem politik tersebut berhasil mentransfer ilmu pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap yang mereka kehendaki. Dan bagian paling relevan dari proses conditioning ini adalah politisasi.
Politisasi diperlukan, baik untuk mempertahankan maupun untuk menggerogoti kekuasaan. Politisasi bisa menumbuhkan keyakinan akan kemampuan politik (political efficacy) di kalangan masyarakat, yaitu “suatu gambaran bahwa seseorang menilai dirinya dapat mempengaruhi proses keputusan politik pemerintah”. (Massialas, 1969: 157).

Orientasi Dasar Politik
Menurut Easton (1957: 311-312), orientasi dasar politik (basic political orientation), mencakup tiga elemen utama. Pertama, political objects atau perceived images. Kedua, values atau desired images. Ketiga, political attitude.
Proses pembentukan dan transmisi orientasi dasar politik bisa ditanamkan melalui institusi-institusi pendidikan. Pendidikan formal sangat mempengaruhi proses rekruitmen politik.

Civic Education
Studi-studi politik pendidikan dapat diarahkan pada problem areas yang cukup luas. Bagaimana transmisi berbagai jenis orientasi secara signifikan berhubungan dengan karakteristik sosio-ekonomi, pandangan politik, etnisitas, agama, dan sejenisnya? Apakah terjadi disparitas antara perceived image dan desired image dalam pikiran siswa? Dan lain-lain.
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, membantu para ilmuwan politik memahami secara konkret proses yang dilakukan oleh pendidikan dalam mempengaruhi integrasi sistem politik. Oleh karena itu, pendidikan kewarganegaraan (civic education) perlu dicantumkan dalam kurikulum pendidikan di berbagai negara.

BAB IV
PROSPEK KAJIAN POLITIK PENDIDIKAN

Sebagai suatu bidang kajian yang relatif baru, kelayakan politik pendidikan (the politics of education) banyak dipertanyakan, baik oleh para sarjana ilmu politik maupun oleh para sarjana ilmu pendidikan. Sehingga memperlambat pengakuan terhadap politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian tersendiri.

Wacana Politik Pendidikan
Politik pendidikan (the politics of education) harus dibedakan dengan politik kependidikan (educational politics). Jika politik pendidikan membicarakan aspek-aspek politik dari pendidikan, politik kependidikan adalah upaya-upaya (sadar dan terorganisasi) untuk mempengaruhi input, proses, dan output pendidikan. (Archer, 1985: 39).
Dalam praktiknya, tandas Archer (1985: 42), educational politics terimplementasi dalam tiga jenis negosiasi yang berbeda-beda. Jenis pertama, adalah inisiasi internal. Jenis kedua adalah inisiasi eksternal. Jenis ketiga adalah manipulasi politik.
Menurut Dale (1989: 42), education politics adalah studi terhadap efektifitas sistem pendidikan dan bentuk-bentuk pengelolaan pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan yang dibebankan pada mereka. Yang mana studi ini memiliki tiga ciri utama, yaitu :
1) Mempertanyakan proses pembuatan keputusan
2) Mereduksi politik menjadi administrasi
3) Terfokus pada perangkat kerja.
Adapun the politics of education adalah relasi antara produksi tujuan-tujuan dan bentuk pencapaiannya.



Perkembangan Kajian Politik Pendidikan
Menurut catatan Mitchell, aplikasi analisis politik terhadap studi kependidikan sepenuhnya terabaikan sebelum tahun 1950-an. Dan perkembangan politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian tersendiri dipicu oleh artikel yang ditulis oleh Thomas H. Eliot yang berjudul “Toward an Understanding of Public School Politics” yang dimuat di American Political Science Review, Volume 53, Nomor 4, Desember 1959, halaman 1032-1052.
Sepuluh tahun kemudian, 1969, American Educational Research Association (AERA) berhasil membentuk divisi khusus para peneliti politik pendidikan. Krist dan Mosher (1969: 623) yakin bahwa perkembangan tersebut bertitik tolak dari suatu kesadaran bahwa isu-isu dan problematika pendidikan membutuhkan model analisis sains-kebijakan (policy-science).
Kajian policy-science menyajikan sesuatu yang berbeda karena kajian ini memperhatikan tiga isu:
1. Efek alokatif dari saksi-saksi politik “siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana.
2. Situasi educational-policy system yang sedang berjalan.
3. Efektifitas sistem yang ada dalam mencapai tujuan yang diharapkan dari kebijakan.

Minat Kajian Politik Pendidikan
Perhatian para ilmuwan pendidikan terhadap aspek-aspek politik pendidikan dan para ilmuwan politik terhadap persoalan-persoalan kependidikan berkembang sangat lamban. Dalam masalah itu, Easton (1957: 304-306) memberi dua alasan yaitu :
1) adanya peningkatan spesialisasi disiplin keilmuan dan penelitian dalam ilmu-ilmu politik.
2) karena hingga akhir tahun 1950-an para ilmuwan politik terlalu banyak memperhatikan persoalan-persoalan kekuasaan atau teori politik normatif.
Menurut Harman (1974: 14-15), tidak tertariknya para ilmuwan politik pada persoalan pendidikan disebabkan empat hal yaitu :
1) mereka terlalu banyak terlibat dengan studi tentang institusi-institusi formal pemerintah dan politik nasional dan internasional.
2) status profesional dan intelektual pendidikan yang rendah.
3) kurangnya perbedaan yang serius tentang kebijakan pendidikan.
4) adanya kepercayaan bahwa pendidikan harus dikeluarkan dari politik.
Oleh Mitchell, perhatian terhadap politik pendidikan dilihat sebagai dampak langsung dari perkembangan kehidupan sosial masyarakat. Ia mencatat perkembangan kehidupan sosial yang menjauhkan perhatian para sarjana pada dimensi politik pendidikan publik, yaitu reformasi gerakan politik urban, diadopsinya filsafat progresif oleh para pendidik berpengaruh, dan berkembangnya scientific management.
Memasuki paruh pertama abad dua puluh, isu-isu utama dalam politik pendidikan adalah the 3 Rs: Religion, Race and Rural/Urban conflicts tentang keuangan sekolah (Lannaconne dan Ciston; dalam Mitchell: 155). Pada awal abad dua puluh, Mitchell mencatat, politik pendidikan dikontrol oleh tujuh keputusan penting, yaitu:
1) Produktivitas ekonomi atau sosialisasi civic;
2) Otoritas sentralistik atau otonomi lokal?;
3) Sekolah sebagai budaya atau sebagai instrumen reformasi?;
4) Dikendalikan oleh birokrasi atau oleh komunitas profesional?;
5) Pilihan swasta atau kepentingan publik?;
6) Hak milik atau identitas budaya?; dan
7) Teknologi sebagai problem atau sebagai solusi?
Mulai awal 1960-an, minat para ilmuwan politik dan mahasiswa pendidikan untuk mengkaji politik pendidikan meluas. Memasuki 1980-an, berdasarkan catatan Harman (1974) penelitian tentang berbagai aspek politik pendidikan dilaksanakan di Jurusan Ilmu Politik dan Ilmu Pendidikan di banyak Universitas dan pusat penelitian di seluruh dunia.
Adanya kecenderungan terus menerus dalam spesialiasasi riset serta tumbuhnya kesadaran dalam ilmu-ilmu sosial dan dalam ilmu pendidikan tentang keterkaitan antara institusi-institusi dan proses-proses sosial, menarik minat sejumlah sarjana ilmu politik untuk meneliti pendidikan. Selain itu, mereka juga berkeinginan keras untuk terlibat dalam proyek-proyek yang memiliki aplikasi langsung dan praktis untuk perbaikan masyarakat.

Fokus dan Manfaat Kajian
Tugas utama kajian politik pendidikan, menurut Easton (1957:305) adalah mengungkapkan cara-cara yang digunakan oleh kelompok-kelompok kependidikan dalam upaya mereka untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan mereka dan untuk memaksimalkan alokasi dana dari pemerintah untuk mereka.
Menurut Harman (1974: 1), studi politik pendidikan dapat meningkatkan pemahaman kita tentang kehidupan politik, tentang berbagai proses dan lembaga pendidikan, dan tentang interaksi antara pendidikan dan politik dalam masyarakat yang berbeda-beda.

Tantangan Ke Depan
Hambatan-hambatan baru selalu muncul dalam perkembangan politik pendidikan. Hambatan-hambatan baru tersebut menurut Harman (1980: 4) meliputi:
1. The Problem of Meanings
2. Kurang Perspektif
3. Keraguan Tentang Investigasi Sistematik
4. Rasa Ketidakberdayaan Profesional





Prospek di Indonesia
Pengalaman bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan memperlihatkan betapa penting arti pendidikan bagi bangunan politik dan sebaliknya, betapa penting arti politik bagi perkembangan pendidikan.
Untuk itu, perspektif masyarakat tentang pendidikan perlu diperluas, dari hanya terbatas pada lingkup ruang kelas ke lingkup lingkungan sosial politik. Dan pada konteks ini kita pantas optimis bahwa pada masa-masa mendatang, kajian-kajian politik pendidikan akan semakin berkembang pesat.

Sumber: Politik Pendidikan (Dinamika Hubungi Antara Kepentingan Kekuaaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan), Bab 1, 2, dan 4, M. Sirozi, Ph.D. Rajawali Press, Jakarta, 2005.








Spectrum Ancaman Ketahanan Nasional

Ketahanan nasional adalah kondisi dinamis suatu bangsa yang meliputi segenap kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan, untuk menjamin identitas, integritas, dan kelangsungan hidup bangsa dan Negara serta perjuangan mencapai tujuan nasional.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ada tiga spectrum yang menjadi ancaman bagi ketahanan nasional, yaitu: identitas, integritas, dan kelangsungan hidup bangsa dan Negara.
· Identitas
Identitas adalah ciri khas suatu bangsa atau Negara dilihat dari keseluruhan (holistic). Negara dilihat dalam pengertian sebagai suatu organisasi masyarakat yang dibatasi oleh wilayah, penduduk, sejarah, pemerintahan dan tujuan nasional serta dengan peran internasionalnya.
Identitas bangsa Indonesia terealisasi dalam berbagai bentuk yang diaplikasikan oleh setiap penduduknya. Secara kodrati Indonesia telah lahir sebagai Negara bangsa. Sehingga banyak identitas bangsa yang menjadi unsure dasar pembentuk bangsa Indonesia. Diantara identitas yang dimiliki bangsa-bangsa tersebut memuat beragam agama, bahasa, suku, kebudayaan, dan adat istiadat. Keberagaman identitas tersebut disatukan ke dalam identitas tunggal yaitu Pancasila.
· Integritas
Integritas adalah kesatuan menyeluruh dalam kehidupan nasional suatu bangsa baik unsure social maupun alamiah, baik yang bersifat potensial maupun fungsional.
Negara Indonesia terbentuk karena adanya integrasi dari berbagai bangsa. Komunikasi dan interaksi suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia menghasilkan aspirasi untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa. Dan wujud integrasi terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia adalah Proklamasi Kemerdekaan yang dilaksanakan pada 17 Agustus 1945.
· Kelangsungan hidup bangsa
Kelangsungan hidup bangsa adalah kemampuan suatu bangsa mempertahakan keberlangsungan hidupnya sebagai bangsa yang terintegrasi. Kelangsungan hidup suatu bangsa akan terjaga selama dia masih bisa mempertahankan identitas dan integritasnya sebagai suatu bangsa.

Di bawah ini terdapat factor-faktor yang menjadi pendukung terhadap identitas, integritas, dan kelangsungan hidup bangsa :
- keanekaragaman budaya
- kesadaran bangsa Indonesia bahwa untuk mewujudkan hakikat kodratnya sebagai makhluk individu dan social harus melakukan suatu kontrak untuk menyepakati suatu integrasi bersama
- keinginan dan semangat untuk hidup dan meraih cita-cita bersama

Keberadaan ketiga spectrum tersebut berbanding lurus dengan ketahanan nasional suatu bangsa. Melemahnya ketahanan nasional akan melemahkan bahkan meruntuhkan ketiga spectrum tersebut. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai identitas pokok bangsa Indonesia semakin tergusur dengan nilai-nilai yang ditiupkan budaya barat secara eksplisit maupun implicit. Dan sebagai akibatnya integritas bangsa semakin memudar dan terancam perpecahan. Akhirnya kelangsungan hidup bangsa semakin sulit untuk dipertahankan.
Di tengah kondisi kritis seperti ini, pembenahan terhadap ketahanan nasional akan menjadi obat yang manjur dalam sebuah proses penyembuhan bagi bangsa Indonesia.

Hatiku selembar daun

Hatiku selembar daun
Yang melayang jatuh di rumput
Sebentar,
Sejenak aku ingin terbang
Di sini
Sesaat adalah abadi,
Sebelum kau sapu tamanmu
Setiap pagi

Karya: Supardi Joko Sarmono



Puisi di atas adalah puisi favoritku. Sederhana, singkat tapi penuh makna.
Resapi dan rasakan betapa dalam makna yang terkandung di dalamnya. Ada air mata yang tak terasa menetes, ketika ku mencoba mencerna setiap kata yang menjadi unsure pembentuk puisi tersebut.
“Hatiku selembar daun” demikianlah aku dan juga manusia-manusia yang ada di bumi ini, nyawa kita tak lebih ringan dari selembar daun yang setiap saat bisa luruh tertiup angin.
Daun yang hijau bukan berarti dia akan berada lebih lama di atas pohon. Bisa saja dia akan lebih dulu menghilang jatuh, ataukah meranggas termakan ulat. Begitu juga kita. Kehidupan dan kematian adalah rahasia Rabb kita.

“Sejenak aku ingin terbang” ya…ch itulah yang kurasakan. Akupun ingin terbang kawan,, menjelajahi dunia ini mencari dan mencari sebanyak mungkin yang ingin kucari.
Sebentar kawan,, hanya sebentar waktu yang ada. Sebentar, jika masih tersisa.

“Sesaat adalah abadi”, waktu yang sebentar adalah abadi jika aku berhasil menggapai apa yang menjadi mimpi. Sebelum aku pergi,, mungkinkah aku abadi?
Kasih sayang kawan,,, yang kurasa masih tertinggal menjadi kekuatan yang semakin kikis.
Kasih sayang orang-orang di sekitar ku yang berusaha merengkuh jiwa rapuhku.
Lalu apa,,,, yang akan menjadikanku tertinggal dalam kehidupan mereka, meski waktu tlah membawaku pergi.