Senin, 01 September 2008

METODOLOGI PENGAJARAN
ILMU EKONOMI ISLAM:
SEBUAH REFLEKSI KE ARAH PENYUSUNAN KURIKULUM
DAN SILABUS EKONOMI ISLAM
PADA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA*

Oleh : Drs. Masyhudi Muqorobin, M.Ec., Akt,**


PENDAHULUAN
Perekonomian global yang sedang dilanda krisis sebagai akibat dari spekulasi mata uang, cenderung mengarah pada resesi atau pun depresi global. Hal ini terlihat dari pengaruh krisis tersebut di hampir semua negara ASEAN dan beberapa negara sekitarnya yang lebih dikenali sebagai “Macan Asia”, dari yang intensiatsnya kecil semisal Singapura hingga yang parah seperti Thailand, Malaysia, Philipina, dan yang paling terpuruk sebagaimana negeri kita tercinta, Indonesia. Berbagai belahan dunia juga telah merasakan pengaruhnya termasuk Cina dan Jepang, meskipun tak begitu kentara, sementara Rusia mengalami kesulitan yang juga tidak kalah serius. Setelah “matinya” sistem sosialisme, tatkala hampir semua negar atelah mempercayakannya pada sistem kapitalisme, kapitalisme mulai menggerogoti dari dalam, menerusi kepincangan yang ditimbulkannya melalui pathologi sosial yang kian parah, seperti pelebaran ketimpangan dalam pembagian kue kesejahteraan, disequilibrium pasar, maupun pemiskinan terhadap sebagian besar anggota masyarakat.[1]
Kegagalan kapitalisme dalam menghadapi problem ekonomi yang ditimbulkan oleh ketidak-adilan atau keazaliman yang inherent dalam sistem tersebut, (seharusnya dapat) memaksa ummat Islam kembali kepada nilai-nilai murni ajaran Islam yang sarat dengan muatan keadilan. Kajian melalui pendekatan etika banyak ditemukan dalam perkembangan sejarah Islam, demikian pula mengenai contoh-contoh empirik tentang perilaku ekonomi umat Islam, sebagaimana banyak ditemukan dalam sejarah mulai dari jaman Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Persoalannya adalah bagaimana mengetengahkan ekonomi Islam sebagai ilmu atau bahan kajian secara ilmiah dalam format yang berkesesuaian dengan perlembangan ilmu pengetahuan modern, sehingga ilmu ekonomi tersebut juga, pada sisi lain, akan mampu menghasilkan sebuah sistem perekonomian masa depan yang lebih berkeadilan baik dalam konteks Islam maupun kemanusiaan pada umumnya. Makalah ini mencoba memaparkan metodologi pengajaran, sebagai bahan kajian awal guna merancang sebuah sistem pendidikan ekonomi Islam pada Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FE-UMY), tanpa suatu ambisi untuk menjawab semua permasalahan yang terkait dengn krisis di atas secara langsung.

REFLEKSI SEJARAH
Ekonomi sebagai perilaku, bahkan sebagai sebuah sistem, sudah ada ketika manusia pertama diciptakan dimuka bumi, sesederhana apapun, melalui aspek-aspek konsumsi dan produksi yang dilakukannya. Sedangkan ketika manusia hidup secara sosial, interaksi antar mereka telah menciptakan sistem distribusi sebagai elemen utama yang ketiga dalam sistem ekonomi. Ia menjadi sebuah (ilmu) pengetahuan, ketika manusia mulai merumuskan perangkat ilmiahnya dalam sejumlah kategori ilmu. Disinilah dokumen pertama dalam sejarah ilmu ekonomi konvensional menceriterakan seorang Aristoteles, dalam “Politics”-nya, membuat formulasi “ilmu ekonomi” yang dikenal sebagai “oikonomia”, yang kemudian dikembangkan lagi oleh pemikir Muslim Ibnu Sina dalam “al-‘ilm al-tadbir al-manzili”, membaginya dalam sejumlah kategori.[2] Pemikiran ekonomi berkembang terutama di awal perkembangan Islam, khususnya berkenaan dengan transaksi jual-beli, zakat, perpajakan dan sebagainya menghasilkan sejumlah pemikir kenamaan dari masa-ke masa. Diantara mereka adalah termasuklah keempat imam madzhab, yaitu Imam Ahmad, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’ie, beserta para pengikut dari kalangan mereka. Imam Abu Hanifah bahkan telah mengembangkan model transaksi yang dikenal dengan bai’ al-salam, yaitu transaksi jual-beli dengan pengiriman barang dibelakang, yang pada abad modern dapat diberlakukan pada kasus transaksi pembelian barang yang dipesan (dibuat), namun dengan ketentuan bahwa spesifikasi barang tersebut adalah jelas.
Beberapa nama lain seperti Ibnu Taymiyyah,[3] yang menulis buku tentang al-Hisbah (pengendalian perekonomian), yang juga memuat masalah price control, penetuan profit yang reasonable, pembatasan praktek monopoli/monopsoni dan oligopoli/oligopsoni, maupun pemikiran ekonomi yang humanistik. Ibnu Khaldun juga seorang pemikir besar dalm kategori ilmu-ilmu sosial termasuk ekonomi (meskipun ia baru disebut ilmu ekonomi sekitar dua abad terakhir ini), yang pandangan sosiologisnya mendahului Auguste Compte, banyak membahas tentang masalah penerapan nilai etika dalam (ilmu) ekonomi, theori permintaan dan penawaran, konsumsi, produksi maupun distribusi, dan sebagainya.[4]
Akan tetapi pergeseran peradaban dari Islam ke Barat, dengan pusat kekuatannya di Spanyol telah menjadikan ilmu dan sistem ekonomi kehilangan kekuatan etika moral, melalui proses sekularisasi yang didahului oleh sebuah momentum yang dikenali sebagai renaissance atau “pencerahan”. Adam Smith adalah orang yang paling bertanggungjawab dalam “melepaskan moralitas sosial untuk mendapatkan ekonomi”[5] oleh karenanya divergensi dalam pemikiran ekonomi dan prakteknya antara Islam dengan materialisme sebagai cikal-bakal kapitalisme dan sosialisme tak terelakkan, sehingga masing-masing menyusun paradigmanya sendiri. Dengan demikian, adalah cukup pantas untuk dinyatakan bahwa ilmu (dan juga sistem) ekonomi modern tersebut telah menyimpang dari (departed from) ilmu (dan sistem) ekonomi Islam.
Penguatan sistem-sistem ekonomi dalam filsafat materialisme yang melahirkan kedua sistem (sosialisme dan kapitalisme) tersebut semakin tampak, sehingga penyimpangannya dari sistem Islam juga terlihat secara nyata dari kerusakan yang yang ditimbulkannya. Dengan demikian adalah tugas manusia, khususnya ummat Islam, untuk mengembalikan ilmu ekonomi, beserta seluruh perangkatnya, secara gradual agar mengarah pada konvergensi kembali dengan ajaran Islam.

METODOLOGI ILMU EKONOMI ISLAM
Bila metodologi dalam ilmu ekonomi konvensional yang kita kenal di abad modern ini hadir dan memperoleh pengukuhannya setelah relatif mapannya perkembangan ilmu ekonomi itu sendiri, sehingga keberadaan metodologi menjadi alat justifikasi untuk membenarkan keberadaan ilmu ekonomi berikut fakta empiriknya, sebaliknya metodologi dalam ilmu ekonomi Islam dibangun terlebih dahulu.[6] Oleh karena itu, dalam kasus konvensional, perubahan yang bersifat metodologis adalah sah, disebabkan kemungkinan perubahan praktek-praktek ekonomi. Sementara kekukuhan metodologi dalam ilmu-ilmu Islam (Shari’ah) menghasilkan kekukuhan nilai-nilai etika Islam dalam perkembangan ilmu termasuk ilmu ekonomi. Perubahan situasi masyarakat dapat menyebabkan perubahan pada peringkat teori, namun bukan metodologinya.
Metodologi ilmu ekonomi Islam terangkum dalam pemikiran ushul al-fiqh, yang secara teoretik menghasilkan fiqh dengan merangkumi fiqh mu’amalah. Metodologi tersebut memiliki pendekatan reasoning yang hampir sama seperti dikenal dalam metodologi sekular melalui penalaran deduksi dan induksinya. Kalangan Madzhab Shafi’ie dan mutakallimun (termasuk kalangan Mu’tazilah) lebih banyak mempergunakan landasan teoretik dan filosofis, sebagai standar dalam penyajian solusi atas persoalan yang ditemukan dalam masyarakat. Berdasarkan madzhabnya, pendekatan ini dinamakan Ushul al-Shafi’iyyah atau Tariqah al-Mutakallimun. Pada sisi lain, para ulama lain, khususnya madzhab Hanafi, mengembangkan apa yang kemudian disebut Ushul al-Hanafiyyah atau Tariqah al-Fuqaha, yang hampir sepenuhnya menggunakan pendekatan penalaran deduktif dengan memformulasikan doktrin teoretis yang sesuai dengan permasalahan sosial yang berkembang.[7] Pembahasan lebih mendalam untuk permasalahan tersebut sejauh ini lebih banyak dijumpai dalam materi Fiqh atau Shari’ah.

PERLUNYA MATEMATIKA DAN INFERENSI STATISTIK
Karena suatu teori banyak menyandarkan pada penemuan empirik di lapangan, maka pemakaian alat analisa statistik dan ekonometrik juga merupakan sebuah keniscayaan dalam ilmu ekonomi Islam. Sebagai contoh dalam sistem Islam dengan profit-loss sharing (PLS), produksi adalah suatu combined effort antara pemilik modal dan pekerja, maka profit tidak hanya dinikmati oleh pemilik modal, melainkan juga oleh para pekerja, dengan demikian sekaligus juga memperhatikan aspek distribusi pendapatan. Secara fungsional hal ini dapat digambarkan dengan matematika dan ekonometrik sederhana sebagai:[8]

Q = f ( P, W) (1)
Q = P + W (2)

dimana Q dapat dianggap sebagai net value added atau output, P adalah laba, dan W mewakili kepentingan pekerja, sebagai upah minimum. Oleh karena laba dibagi antara para pemilik modal dan pekerja, maka P terdiri atas a P dan (1-a) P untuk masing-masing, sehingga

Q = a P + (1-a) P + W (3)

Bila upah pekerja yang berlaku di bursa tenaga kerja adalah U, di atas upah minimum, maka kelebihan upah di pasaran terhadap upah minimum adalah (U-W), dengan demikian untuk menyesuaikan dengan upah di pasaran, persamaan (3) dapat diubah menjadi:

Q = a P + (1-a) P – U + W + U
Q = a P + [(1-a) P – (U – W)] + U (4)

Misal, [(1-a) P – (U – W)] diganti dengan B (bonus), dengan pemahaman bahwa manajemen melaksanakan keadilan dengan membagi hak-hak para pekerja tanpa kesulitan menjelaskan kepada mereka dengan perhitungan yang rumit, maka diperoleh

Q = a P + B + U (5)

a P menjadi bagian dari laba yang diperoleh para pemilik modal dan dapat dibagi dalam bentuk dividen, sedang (B + U) menjadi bagian para pekerja yang terdiri dari upah yang berlaku di pasar tenaga kerja dan bonus yang diperolehnya. Regresi ekonometrik dapat dilakukan dengan memilih persamaan yang relevan dengan data empirik yang diperoleh di lapangan, misalnya dari persamaan (3) atau (5).

Q = b0 + b1P + b2B + b3U + e, P > 0, B > 0, U > 0 (6)
dengan e adalah error.
Untuk keperluan teoretisasi, seperangkat asumsi dapat dibangun sebagai landasan untuk menyusun seperangkat teori. Asumsi-asumsi tersebut berasal dari bangunan Shari’ah, pada satu sisi, yang dapat dikategorikan sebagai elemen yang “tidak berubah” secara prinsip, misalnya aplikasi zakat pada investasi, tiadanya unsur exploitasi (dhulm), ketidak-pastian (gharar), dan sebagainya, dan pada sisi lain juga berasal dari hal-hal yang bersifat tabi’ie yang dapat berubah berdasarkan pengalaman empirik.

METODOLOGI PENGAJARAN ILMU EKONOMI ISLAM
Dalam rangka mensosialisaikan ilmu ekonomi Islam kepada masyarakat, ada prasyarat atau asumsi yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu bahwa kepercayaan akan keberadaan sistem ekonomi Islam adalah mutlak diperlukan, dan bahwa kehadiran ilmu ekonomi untuk menjelaskan keberadaan sistem tersebut sudah tidak dipertanyakan lagi, minimal oleh ummat Islam. Masyhudi[9] mencatat dua strategi dasar yang perlu dikembangkan, sebagaimana sosialisasi pendekatan konvensional, yaitu melalui dunia akademik dan praktek empirik.
Strategi tersebut dapat dikembangkan secara integratif melalui sebuah proses Islamisasi ilmu ekonomi dengan langkah-langkah secara sistematis, sebagaimana telah dianjurkan oleh sejumlah kalangan termasuk International Institute of Islamic Thought (IIIT).[10] Gambar 1 menunjukkan langkah-langkah yang mungkin (atau bahkan harus) ditempuh dalam proses Islamisasi ilmu ekonomi, yang hendak diajarkan, khususnya melalui dunia akademik. Penguasaan ilmu-ilmu alat berupa ilmu-ilmu Shari’ah merupakan kebutuhan mutlak dalam sistem proses ini. Kelemahan bagi dalam hal ini dapat meyebabkan kekeliruan dalam memberikan interpretasi atau bahkan menjustifikasi praktek-praktek yang menyimpang dari ajaran Islam. Namun bukan berarti ummat kita dilarang sama sekali, oleh karenanya usaha harendaknya tetap dilakukan. Langkah kedua adalah penguasaan teori-teori dalam ilmu ekonomi, yang merupakan prasyarat dalam memahami ilmu ekonomi konvensioanl, sehingga dapat negetahui kelemahannya maupun kelebihannya untuk dapat diidentifikasi dalam rangka Islamisasi. Langkah berikutnya adalah menganalisa melalui kombinasi metoda sebagaimana telah didiskusikan di atas untuk memperoleh hasil sintesa ilmu ekonomi yang sarat dengan muatan nilai-nilai Islam.

PENERAPAN NILAI KE DALAM KURIKULUM DAN SILABI
Secara langsung kita mendiskusikan kemungkinan proses tersebut dilaksanakan. Terdapat setidaknya dua skenario untuk melaksanakan proses peng-Islaman ilmu ekonomi melalui proses belajar-mengajar di bangku perguruan tinggi. Pertama, ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang memiliki penguasaan kedua faktor (ilmu alat dan ilmu ekonomi konvensioanl) cukup memadai, dan kedua prasyarat ini tidak atau belum terpenuhi. Tulisan ini mengambil skenario yang kedua sesuai dengan situasi dan kondisi serta keterbatasan Fakultas Ekonomi UMY.







Gambar 1
Langkah-langkah dalam Islamisasi Ilmu Ekonomi


Penguasaan
ilmu-ilmu alat seperti
Shar’iah, Fiqh, dsb., dalam
Rangka memahami nilai-
nilai Islam


Penguasaan terhadap ilmu
Ekonomi konvensional


Sintesa ilmu ekonomi
yang sarat dengan muatan
nilai-nilai Islam




Juga terdapat setidaknya dua kemungkinan dalam skenario yang kedua. Pertama berdasar pada kuantitas materi (mata kuliah), sehingga tanpa mengubah jumlah satuan kredit semester (SKS) dalam keseluruhan program, cara ini hanya dapat ditempuh dengan mengurangi porsi mata kuliah ekonomi konvensional untuk menambah materi ke-Islaman, atau keharusan mengurangi muatan nasional dalam rangka menambah muatan lokal.
Pilihan terbaik adalah kemungkinan kedua yaitu berdasar kualitas materi (mata kuliah), yang dilakukan dengan cara mengintegrasikan muatan ke-Islaman ke dalam materi konvensional, dan pada sisi lain, memasukkan elemen-elemen pengajaran ekonomi berikut aspek rasionalitasnya ke dalam materi ke-Islaman dan/atau ke-Muhammadiyahan. Cara ini dapat pula dipandang sebagai “win-win” method, tanpa mengurangi kuantitas kedua kurikulum (nasional dan lokal) yang dibebankan kepada mahasiswa. Alternatif kedua ini mengharuskan SDM (dalam hal ini staf pengajar) untuk mendekati skenario pertama, yaitu dengan memacu diri untuk lebih memahami ilmu-ilmu alat, seperti bahasa Arab, ilmu Shari’ah, Fiqh, dan sebagainya. Apabila upaya ini agak susah dilakukan, sebagai gantinya, dapat ditempuh dengan cara shortcut, yaitu dengan mempelajari langsung tulisan-tulisan tentang ilmu ekonomi Islam, khususnya yang berbahasa Inggris karena kualitasnya secara relatif lebih baik.


Gambar 2
Penerapan Nilai-nilai Islam ke dalam Mata Kuliah (MK)

MK sebagai sebuah entitas mandiri

1. topik pembahasan I
2. topik pembahasan II
3. topik pembahasan III
Nilai-Nilai Islam
4. topik pembahasan IV
5. topik pembahasan V

6. topik pembahasan VI

7. topik pembahasan VII





PENERAPAN NILAI KE DALAM MATERI (MATA KULIAH)
Berdasarkan keterbatasan jumlah materi dalam kurikulum lokal yang dibenarkan, maka Fakultas perlu mencari modus yang paling layak untuk memasukkan nilai-nilai ke-Islaman tersebut ke dalam materi-materi atau mata kuliah (MK) yang tergabung dalam kelompok kurikulum nasional, tanpa mengurangi jumlah materi sehingga tujuan umum secara nasional tentang pemahaman ilmu ekonomi tetap tercapai, dan tanpa menambah beban SKS yang mungkin akan memberatkan mahasiswa. Caranya bukan dengan menyisipkan suatu topik pembahasan tersendiri ke dalam MK yang bersangkutan, karena hal ini akan mengurangi jumlah topik pembahasan dalam setiap MK yang disampaikan, melainkan dengan mendekati setiap topik pembahasan dengan pendekatan Islam. Gambar 2 menunjukkan metoda memasukkan nilai-nilai Islam tersebut.
Sejumlah strategi yang mendukung penerapan nilai Islam ke dalam mata kuliah, atau lebih tepatnya proses Islamisasi ekonomi melalui mata kuliah, dapat dilakukan misalnya dengan memberikan tugas-tugas tertentu sebagai berikut:
1. Penugasan dalam bentuk membaca tulisan-tulisan ekonomi Islam dengan memperbandingkannya dengan yang konvensional. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa melaksanakannya adalah dengan cara spot test, atau melalui tanya jawab ringan 5 – 10 menit sebelum mulai kuliah.
2. Penugasan dalam bentuk paper dan/atau presentasi, baik perorangan atau kelompok. Penugasan seperti ini dapat dilakukan satu atau dua kali dalam satu semester tergantung kebutuhan dan keterbatasan. Caranya melalui:
a. Telaah terhadap ayat-ayat al-Qur’an atau al-Hadits yang berkaitan dengan masalah ekonomi secara teoretik, bila perlu disertai dengan penjelasan grafik, penjelasan matematis, dan sebagainya;
b. Telaah beberapa pandangan ulama tradisional yang dijumpai dalam sejarah Islam secara teoretik melalui ilmu ekonomi konvensional;
c. Telaah terhadap artikel atau bab dalam buku ekonomi Islam; dan
d. Komentar atas buku konvensional dengan memakai kacamata Islam;

Guna memenuhi target-target yang dkehendaki, maka ketersediaan literatur ilmu ekonomi Islam adalah mutlak diperlukan. Oleh karenanya setiap mata kuliah yang diajarkan hendaknya disertai referensi buku-buku atau tulisan lain yang relevan untuk mendampingi referensi yang bersifat konvensional. Demikian pula mahasiswa diminta untuk memiliki paling tidak satu buku bagi setiap MK.

PENUTUP
Pada dasarnya sistem ekonomi Islam amat diperlukan sebagai alternatif terhadap sistem kapitalisme (maupun sosialisme) yang ada yang telah menunjukkan kian parahnya ekses negatif yang diderita masyarakat sebagai akibat ketergantungannya pada sistem tersebut. Sejalan dengan itu pengembangan ilmu ekonomi Islam guna mencapai sebuah sistenm ekonomi yang lebih Islami, lebih berkeadilan dan berperi-kemanusiaan, adalah bersifat imperatif. Sistem dan ilmu ekonomi Islam tidak hanya bermanfaat bagi ummat Islam saja, melainkan juga bagi seluruh ummt manusia di muka bumi, karena sistem tersebut dalam sejarahnya, dan juga pada praktik-praktik yang terjadi di beberapa negara, cukup rasional dan mendatangkan keuntungan yang lebih tinggi kepada semua fihak, dengan effisiensi yang relatif lebih tinggi, dengan adanya eliminasi terhadap berbagai unsur eksploitasi (riba) dan ketidak-pastian (gharar).
Guna mencapai tujuan tersebut, perlu sosialisasi ilmu, dalam rangka pembentukan sistem, ekonomi Islam melalui jalur pendidikan secara lebih sistematis dengan pendekatan metodologis yang sesuai. Pemahaman metodologi ilmu ekonomi Islam menjadi prasyarat bagi tujuan yang dikehendaki, sekaligus memberikan fasilitas terhadap upaya pengajaran. Dalam rangka itulah Fakultas Ekonomi UMY melancarkan program pengembangan fakultas melalui program studi ilmu ekonomi dengan konsentrasi ilmu ekonomi Islam. Metoda yang ditempuh lebih mengacu pada pertimbangan faktor kualitas (dari pada kuantitas) materi dalam kurikulum, sebagaimana yang diberlakukan secara nasional dengan tetap mengakomodasi kepentingan kurikulum lokal. Oleh karenanya, metoda “Islamisasi” yaitu dengan menerapkan atau meyerapkan nilai-nilai Islam kedalam setiap materi yang ditawarkan, diharapkan akan lebih relevan serta tidak menimbulkan “kekagetan” selama berlangsungnya proses belajar-mengajar. Wallahu a’lam bish-shawab.



* Disampaikan dalam forum diskusi pengembangan ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi UMY, dihadapan Tim “Divisi Pengembangan Ekonomi Islam” dan seluruh staf akademik FE-UMY pada tanggal 15 September 1998.
** Dosen Fakultas Ekonomi UMY, kandidat Ph.D. dalam ilmu ekonomi Islam pada International Islamic University Malaysia (IIUM).
[1] Lihat Drs. H. Masyhudi Muqorobin, Akt., “Ekonomi Islam dan Sosialisasinya melalui Jalur Pendidikan, ”Utilitas” (Jurnal Fakultas Ekonomi UMY), ed. 2 tahun II, Juni 1994, halaman 11.
[2] Masyhudi Muqorobin “Beberapa Persoalan Metodologis dalam Ilmu Ekonomi: Antara Sekular dan Islam,” Universal: Jurnal Pemikiran Alternatif (PB HMI), halaman 26.
[3] Al-Syaikh al-Imam Ibn Taymiyyah, Public Duties in Islam: the Institution of Hisba, trans. By Muhtar Holland, The Islamic Foundation, Leicester, 1982/1402.
[4] Lebih jelasnya lihat Masyhudi Muqorobin, “Ekonomi Islam” Ibid, hal. 16.
[5] Adam Smith’s Mistake, sebuah tulisan Kenneth Lux memaparkan “dosa sejarah” yang dilakukan oleh Adam Smith, seorang filsuf moral yang yang mengubah jalan hidupnya menuju jalan lain yaitu pemikir ekonomi. Lihat tulisan Zubair Hasan tentang hal ini pada “Economic Development in Islamic Perspective: Concept, Objective, and Some Issues,” Journal of Islamic Economics, vol. 1 (1995), utamanya pada halaman 94-97.

[6] Lihat Drs. Masyhudi Muqorobin, “Beberapa Persoalan Metodologis” ibid, hal. 29.

[7] Banyak ulama fiqh membeberkan pemikiran tersebut, termasuk Muahmmad Hashim Kamali Principles of Islamic Jurisprudence, Pelanduk Publications, Selangor, 1989, hal. 9-12.
[8] Dikembangkan dari Zubair Hasan, “Distributional Equity in Islam,” in. Munawar Iqbal (ed.), Distributive Justice and Need Fulfilment in an Islamic Economy. Islamabad: International Islamic University Islamabad, halaman 35-62.
[9] Drs. Masyhudi M., “Ekonomi Islam” Ibid, hal. 17-18.
[10] International Institute of Islamic Thought (IIIT), Islamization of knowledge: general principles and work plan, International Islamic Publishing House, Riyadh, 1401/1981.

Tidak ada komentar: