Selasa, 20 Mei 2008

KENAIKAN BBM, KESEJAHTERAAN RAKYAT YANG TERGADAI TANPA TEBUSAN

Kenaikan harga BBM di Indonesia merupakan imbas langsung dari kenaikan harga minyak dunia yang melambung tinggi di atas $100 US per barel. Ada banyak kacamata yang digunakan oleh para oknum dalam menyikapi kenaikan harga tersebut yang kesemuanya akan berhenti pada dua titik yang berlawanan yaitu, pro dan kontra. Dan kita perlu berhati-hati dalam melihat makro perekonomian Indonesia sehingga kita tidak terjebak dalam pemahaman buta yang mengombang-ambingkan kita dalam ketidakpastian penentuan sikap.

Penghematan sumber energi, pemberian subsidi langsung kepada rakyat miskin, perbaikan perekonomian Indonesia, sekilas alasan itu cukup logis jika dijadikan sebagai obat penenang di tengah kegusaran masyarakat akibat kenaikan harga BBM. Tapi, perlu ditilik ulang siapakah yang mempropagandakan alasan-alasan tersebut dan benarkah alasan-alasan tersebut bisa dibuktikan secara empirik? Tunggu dulu….bisa saja alasan-alasan itu muncul dari oknum-oknum tertentu yang merasa diuntungkan dengan adanya kebijakan kenaikan tarif BBM. Karena fakta-fakta yang ada telah menolak hipotesis di atas.

Kenaikan BBM telah mennjadi diskursi utama di berbagai kalangan. Meskipun kenaikan itu belum diresmikan, namun imbasnya telah meresahkan rakyat. Rakyat miskin, yang kata pemerintah menjadi sasaran pengalihan subsidi BBM malah merasakan keterjepitan hidup yang dialaminya makin parah. Lantas, apa namanya kalau klaim pemerintah itu bukan hanya sekedar topeng pemanis? Karena tentu saja seburuk apapun informasi yang digunakan dalam dunia bisnis akan tetap disampaikan sebagai informasi positif yang di make-up dengan berbagai alasan. Tapi, yang menjadi pertanyaan, apakah pemerintah indonesia memandang rakyat miskin hanya sekedar ladang bisnis bagi pejabat? Jika itu yang terjadi, tiada lagi manfaat kemerdekaan yang telah ditebus dengan darah dan nyawa oleh para pahlawan terdahulu.

Menurut penulis, kesejahteraaan rakyat hanya menjadi dalih pelarian yang digeret kesana kemari oleh oknum tertentu guna mencapai tujuan politik ekonominya. Kesejahteraan rakyat bak tameng yang kuat bagi pemerintah yang keberadaannya terkungkung dalam keabstrakan semata. Bagaimana tidak, dalam problema BBM sekarang inipun kesejahteraan rakyat diusung guna mendukung pelegalan kebijakan kenaikan tarif BBM. Padahal, itu merupakan kebohongan publik yang nyata. Bahkan, M. Kholid Syeirazi, seorang tenaga ahli di DPR RI, melalui artikelnya yang berjudul "Menaikkan Harga BBM = Pemerintah Tidak Memihak Rakyat Miskin !!", beliau mengatakan dengan tegas bahwa pemerintah bohong kalau negara lebih banyak menyubsidi orang kaya melalui BBM. Dengan gamblang beliau memaparkan bahwa pemerintah memang menyubsidi orang kaya, tapi bukan melalui BBM, melainkan melalui bunga obligasi rekapitulasi perbankan yang jumlahnya lebih dari 65 triliun dalam APBN P 2008.

APBN negara memang sedang mengalami defisit. Namun, apakah menaikkan tarif BBM merupakan cara yang tepat untuk menutup defisit tersebut? Jika kita kaji melalui pendekatan ilmu ekonomi, perekonomian makro akan stabil jika ada kestabilan dalam perekonomian mikro. Jika pemerintah benar-benar ingin memperbaiki keadaan perekonomian makro Indonesia, langkah yang harus diambil adalah memperkuat perekonomian mikronya, bukan malah membunuhnya.

BBM merupakan pangkal kehidupan ekonomi rakyat yang jika itu dicabut terancamlah kehidupan mereka, padahal rakyat merupakan penyangga kehidupan suatu negara. Industri yang menggunakan BBM pasti akan menaikkan harga jual produknya karena sudah masuk dalam teori bahwa produsen akan berbagi beban dengan konsumen mereka. Imbas kenaikan harga tidak begitu terasa bagi mereka yang berduit lalu bagaimankah dengan nasib kaum alit. Haruskah mereka mengencangkan lagi ikat pinggang mereka, sementara nafas mereka sudah tersengal dalam perut yang kempis.

Mengutip pernyataan Karsiyo (69), seorang pedagang kelapa muda (kelamud) di Jl. Raya Thamrin Semarang, pada lembar KR edisi 15 Mei 2008 lalu saat diwawancara KR mengenai kenaikan tarif BBM, dengan ketus dia menjawab, "kelamud iki ora iso mlaku dhewe menyang kutho." Dari penggalan wawancara itu tentunya kita bisa merasakan betapa kecewanya beliau terhadap kebijakan tarif BBM. Apakah pemerintah tidak cukup tertusuk dengan pernyataan itu yang menyiratkan betapa berartinya BBM bagi mereka. Selain itu, pada lembar yang sama seorang sopir angkot di Semarang mengeluhkan semakin sulitnya dia mendapatkan penumpang karena dia meningkatkan tarif 25 % lebih tinggi dari sebelumnya guna mengimbangi kenaikan BBM sebentar lagi.

Kesejahteraan seperti itukah yang dimaksud? Kesejahteraan menjadi korban dari ketakutan pemerintah dalam melawan para kreditor yang menjadi drakula penghisap darah rakyat dan para mafia minyak tanah yang menggerogoti uang rakyat. Pemerintahan Indonesia sekarang ini tak ubahnya sedang berada di atas bidak catur yang menempatkan rakyat sebagai pion yang setiap saat harus siap "berkorban" untuk melindungi rajanya. Pemerintah tak lebih dari tikus pengecut yang bersembunyi di balik kekuasannya yang mereka hanya berani memanfaatkan kekuasaan tersebut untuk melawan rakyatnya sendiri. Padahal, kalau mereka berani mereka bisa melakukan renegoisasi utang luar negeri untuk menyehatkan kembali APBN yang sedang berdarah-darah sebagaimana usulan M. Khalid Syeirazi dalam artikelnya. Akan tetapi, ternyata pemerintah tak punya keberanian unutk melakukannya dan mereka malah merencanakan penambahan utang baru sebesar 48 triliun rupiah dan penerbitan SUN, obligasi, dan sebagainya sebesar 117 triliun rupiah dalam APBN 2008.

20 Mei 2008

Tidak ada komentar: